SELAMAT DATANG DI WEB SUPPORT PT. SOLUSI BALAD LUMAMPAH ~ SBL BANTEN Group | Solusi Mudah Mencapai Baitulloh | MAU UMROH ? SBL SOLUSINYA !!

SEKILAS HAJI & UMROH

SEJARAH HAJI & UMROH

Sejarah Haji dan Umroh – Sejarah’ diambil dari bahasa Arab, ‘syajaratun’ yang berarti pohon. Secara istilah, sejarah berarti gambaran sebuah pertumbuhan peradaban manusia dengan perlambang ‘pohon’. Yang tumbuh bermula dari biji kemudian menjadi pohon yang lebat rindang dan berkesinambungan.
Sejarah berkaitan erat dengan perubahan. Bagaimana dengan Sejarah Ibadah Haji dan Umroh?

Sejarah Haji dalam Islam bermula dari ribuan tahun lalu. Pada masa Nabi Ibrahim as (1861-1686 SM), yang merupakan keturunan Sam bin Nuh as (3900-2900 SM). Literatur dalam Islam menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim lahir di Urkasdim, kota penting di Mesopotamia kemudian beliau berdiam pada sebuah lembah di negeri Syam. Ketika sampai berusia senja beliau belum juga diberikan keturunan, Sarah sedih dan meminta Ibrahim menikahi Hajar. Allah Swt mengaruniainya seorang putra bernama Ismail. Sarah tidak mampu memendam rasa pilu hatinya karena tidak mendapatkan keturunan sepanjang perkawinannya dengan Nabi Ibrahim as. Nabi Ibrahim kemudian mengadukan permasalahannya kepada Allah. Allah Swt lalu memerintahkan membawa Ismail bersama Hajar menjauh dari Sarah.
Ibrahim bertanya : “Ya Allah, kemana saya harus membawa keluarga saya?”
Allah berfirman : “Bawalah ke tanah haramKu dan pengawasanKu, yang merupakan daratan pertama Aku ciptakan di permukaan bumi yaitu Mekkah.”

Lalu Jibril as turun membawa kendaraan cepat. Kemudian membawa Hajar, Ismail, dan Nabi Ibrahim as. Setiap Nabi Ibrahim as melewati suatu tempat yang memiliki ladang kurma yang subur, ia selalu meminta kepada Jibril untuk berhenti. Tetapi Jibril selalu menjawab, “teruskan lagi” dan “teruskan lagi”. Sehingga sampai di Mekkah, Jibril menurunkan mereka di posisi Ka’bah. Di bawah sebuah pohon yang cukup melindungi Hajar dan anaknya Ismail dari terik matahari.

Selanjutnya Nabi Ibrahim as bermaksud pulang kembali ke negeri Syam menemui istri pertamanya. Hajar merasa sedih akan ditinggal oleh suaminya tercinta. “Mengapa engkau menempatkan kami di sini. Tempat yang sunyi dari manusia, hanya gurun pasir, tiada air, dan tiada tumbuh-tumbuhan?” tanya Hajar sambil memeluk erat bayinya, Ismail.
Ibrahim menjawab: “Sesungguhnya Allah yang memerintahkanku menempatkan kalian disini”.
Lalu Ibrahim beranjak pergi meninggalkan mereka. Sehingga sampai ke bukit Kuday yang mempunyai lembah, Ibrahim berhenti sejenak dan melihat kepada keluarga yang ditinggalkannya. Dia lalu berdoa, seperti yang diabadikan di dalam Al-Quran.
Allah berfirman mengulangi doa Ibrahim: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim:37).

Setelah Ibrahim pergi, tinggallah Hajar bersama bayinya, Ismail. Ketika sinar matahari mulai menyengat, bayi Ismail menangis kehausan. Hajar pun panik mencari air. Naluri keibuannya berusaha gigih mencari air. Awalnya Hajar naik ke bukit Safa tapi tidak menemukan air. Lalu ia pergi lagi ke bukit Marwa dan di sana pun tidak menemukan air. Hajar panik dan sedikit putus asa, sehingga ia tidak menyadari telah tujuh kali berlari bolak-balik antara bukit Safa dan Marwa. Namun ia tetap tidak menemukan air di antara dua tempat tersebut.

Akhirnya dari bukit Marwa, Hajar melihat ke arah Ismail. Dia heran, bayinya tiba-tiba berhenti menangis. Dia pun melihat air mengalir dari bawah kaki Ismail. Hajar berlari dengan girang menuju tempat bayinya. Dia berusaha menggali pasir, membendung air yang mengalir tersebut sambil melafazkan kalimat “Zam…Zam” (menampung). Sejak saat itu sehingga sekarang, mata air tersebut dikenal seluruh penjuru dunia dengan sebutan sumur  “Zamzam”.

Berselang beberapa waktu kemudian, lewatlah Kabilah Jurhum di sekitar tempat itu. Ketika berada di bukit Arafah, mereka melihat kerumunan burung-burung beterbangan di atas udara. Mereka yakin di sana pasti ada sumber air. Mereka segera mendekati tempat tersebut.
Setelah sampai, mereka terkesima melihat seorang wanita bersama bayinya duduk di bawah pohon dekat sumber air itu. Kepala suku Jurhum bertanya kepada Hajar: “Siapakah Anda dan siapakah bayi mungil dalam gendonganAnda itu?” Hajar menjawab: “Saya adalah ibu dari bayi ini. Ia anak kandung dari Ibrahim as yang diperintahkan oleh Tuhannya menempatkan kami di wadi ini”.
Lalu kepala suku Jurhum meminta izin tinggal berseberangan dengannya. Hajar menjawab: “Tunggulah sampai Ibrahim datang. Saya akan meminta izin kepadanya”.
Tiga hari kemudian, Nabi Ibrahim as datang melihat kondisi anak dan istrinya. Hajar meminta izin kepada Ibrahim agar kabilah Jurhum bisa menjadi tetangganya. Nabi Ibrahim memberi izin. Kabilah Jurhum menjadi tetangga Hajar dan Ismail di tempat itu. Pada kesempatan berziarah selanjutnya, Ibrahim  menyaksikan tempat itu sudah ramai oleh keturunan bangsa Jurhum. Ibrahim merasa senang melihat perkembangan itu.

Hajar hidup rukun dengan bangsa Jurhum hingga Ismail mencapai usia remaja. Selanjutnya Allah Swt memerintahkan kepada Ibrahimuntuk membangun Ka’bah pada posisi Qubah yang telah Allah turunkan kepada Nabi Adam. Tetapi Ibrahim tidak mengetahui posisi Qubah itu. Qubah tersebut telah diangkat kembali oleh Allah ketika banjir besar menimpa bumi pada masa Nabi Nuh as. Kemudian Allah Swt mengutus Jibril as untuk menunjukan kembali kepada Ibrahim posisi Ka’bah.  Jibril datang membawa beberapa komponen Ka’bah dari surge. Pemuda Ismail membantu ayahandanya mengangkat batu-batu dari bukit.

Kemudian ayah dan anak itu bekerja membangun Ka’bah sampai ketinggian tujuh hasta. Jibril lalu menunjukan kepada mereka posisi “Hajar Aswad”. Ibrahim meletakkan Hajar Aswad pada posisi semula. Lalu Ibrahim membuatkan dua pintu Ka’bah. Pintu pertama terbuka ke timur dan kedua terbuka ke barat.

Ketika selesai pembangunan Ka’bah, Ibrahim dan Ismail melakukan Ibadah Haji. Pada tanggal 8 Zulhijah, Jibril turun menemui dan menyampaikan pesan kepada Ibrahim. Jibril meminta Ibrahim mendistribusikan air Zamzam ke beberapa tempat seperti Mina dan Arafah. Maka hari itu disebut dengan hari “Tarwiyah” (pendistribusian air). Setelah selesai pembangunan Baitullah dan pendistribusian air tersebut, maka Ibrahim pun berdoa kepada Allah. Doa ini tercantum di dalam Al-Qur’an. Allah swt berfirman :
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman : “Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. Al-Baqarah : 126).

Sejak itu, kaum Muslimin melaksanakan ritual haji untuk berziarah ke Ka’bah setiap tahun. Ini mengikuti risalah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, serta risalah para nabi dan rasul setelah keduanya. Ritual suci ini berlangsung terus seperti pelaksanaan yang pernah dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail. Namun pada periode tokoh Mekkah ‘Amar bin Luhay, ritual haji mulai terkotori dengan kehadiran patung dan berhala.
Tokoh ‘Amar bin Luhay merupakan orang yang pertama kali menyebarkan ajaran menyembah berhala di seluruh Jazirah Arab. Dialah yang bertanggung jawab meruba ajaran tauhid menjadi menyembah berhala.
Sejak itu, orang-orang Arab meletakkan patung dan berhala yang mereka anggap sebagai tuhan di sekitar Ka’bah. Bahkan sebagian kabilah Mekkah mempunyai mata pencaharian sebagai pembuat patung dan berhala.

Mereka tetap memperbolehkan kabilah atau kelompok lain untuk menunaikan Haji ke Baitullah, tanpa membedakan agama dan kepercayaan. Para pemeluk agama tauhid termasuk agama Masehi, masih terus menjalankan ritual haji ke Ka’bah. Saat itu, kondisi Ka’bah sangat memprihatinkan. Dindingnya dipenuhi puisi dan lukisan. Bahkan lebih dari 360 berhala terdapat di sekitar Ka’bah.
Selama periode haji itu, suasana di sekitar Ka’bah layaknya seperti sirkus. Laki-laki dan perempuan mengelilingi Ka’bah dengan telanjang. Mereka menyatakan harus menampilkan diri di hadapan Allah dalam kondisi yang sama seperti saat lahir. Doa mereka menjadi bebas tak lagi tulus mengingat Allah. Bahkan berubah menjadi serangkaian tepuk tangan, bersiul, dan meniup terompet dari tanduk hewan.

Kalimat talbiah (Labbaika Allahumma labbaik) telah diselewengkan oleh mereka dengan kalimat tambahan yang berbeda maknanya. Lebih parah lagi, darah hewan kurban dituangkan ke dinding Ka’bah dan dagingnya digantung di tiang sekitar Ka’bah. Mereka punya keyakinan bahwa Allah menuntut daging dan darah tersebut. Mengenai hal ini Allah Swt mengingatkan dengan firman-Nya:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj : 37)

Para peziarah bebas bernyanyi, minum arak, melakukan zina, dan perbuatan amoral lainnya. Lomba puisi adalah bagian utama dari seluruh rangkaian haji. Dalam kompetisi ini, setiap penyair akan memuji keberanian dan kemegahan sukunya. Mereka menyampaikan cerita yang berlebihan, kepengecutan dan kekikiran suku-suku lainnya. Ada juga kompetisi dalam “kemurahan hati”. Masing-masing kepala suku akan menyediakan kuali besar dan memberi makan para peziarah. Tujuannya agar bisa menjadi terkenal karena kemurahan hati mereka.
Mereka telah meninggalkan, menodai, dan menyelewengkan ajaran suci Nabi Ibrahim as yang mengajak menyembah Allah semata. Keadaan menyedihkan itu berlangsung selama kurang lebih dua ribu tahun. Tetapi setelah periode panjang ini, terjawablah doa Nabi Ibrahim as yang tercantum dalam Al-Qur’an:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayatMu dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah : 129)
Nabi Muhammad saw tidak hanya membersihkan Ka’bah dari segala kotoran, tetapi juga mengembalikan kemurnian Ibadah Haji sesuai tuntunan Allah sejak zaman Nabi Ibrahim as. Allah swt mengutus Nabi Muhammad saw sebagai jawaban atas doa tersebut. Selama dua puluh tiga tahun, Nabi Muhammad saw menyebarkan pesan tauhid. Pesan yang sama seperti yang dibawa Nabi Ibrahim as dan semua Nabi pendahulunya, untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi.
Terdapat perintah khusus dalam Al-Qur’an, diturunkan dalam rangka menghilangkan semua upacara palsu yang telah merajalela di masa pra-Islam. Semua tindakan tidak senonoh dan memalukan itu sangat dilarang dalam pernyataan Allah Swt:
“Musim Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh Rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan Haji.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Rasulullah saw memerintahkan para sahabat yang mampu, terutama kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang-orang Mekkah, untuk menunaikan Ibadah Haji yang sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim. Mereka tidak mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Ketika kembali dari berhaji, kaum Anshar melapor kepada Rasulullah saw bahwa mereka mengerjakan sa’i dengan keraguan. Di tengah Mas’a (jalur sa’i) antara Safa dan Marwa terdapat dua berhala besar Asaf dan Na’ilah. Oleh karena itu, turunlah wahyu Allah, yaitu:
“Sesungguhnya Safa dan Marwa sebagian dari syiar-syiar Allah. Maka barangsiapa berhaji ke Baitullah atau berkunjung (Umrah), tidak salah baginya untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 158)
Ayat inilah yang akan sering dibaca oleh para jemaah Haji ketika melakukan sa’i.
Pada bulan April 628 M (Zulkaidah 6 H) Rasulullah Saw bermimpi menunaikan umrah (kunjungan) ke Mekkah. Beliau  mengajak para sahabat untuk mewujudkan mimpi tersebut. Rasulullah dengan disertai 1.500 sahabat berangkat menuju Mekkah, mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan kurban.
Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalangi, sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut Mekkah.
Kaum Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untyk berunding dengan Rasulullah. Suhail mengusulkan, antara lain, kesepakatan genjatan senjata dan kaum Muslimin harus menunda umrah dengan kembali ke Madinah. Tetapi tahun depan diberi kebebasan melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Mekkah. Rasulullah menyetujui perjanjian ini meskipun para sahabat banyak  yang kecewa, namun tidak ada yang berani, menentang keputusan beliau.
Secara singkat isi perjanjian tersebut kelihatannya merugikan kaum Muslimin, tetapi secara politis sangat menguntungkan.  “Perjanjian Hudaibiyah” merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam karena untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Mekkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah wahyu Allah:
“Sungguh Allah akan memenuhi mimpi RasulNya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu pasti akan memasuki Masjid Al-Haram insyaAllah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (merampungkan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia menegetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang dekat”. (Al-Fath 27)
Sesuai dengan Perjanjian Hidaibiyah, tahun berikutnya (Maret 629 Masehi atau Zulkaidah 7 Hijriah) Rasulullah saw beserta para sahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke Baitullah. Ketika rombongan Rasulullah saw yang berjumlah sekira 2.000 orang memasuki pelataran Ka’bah untuk melakukan tawaf, orang-orang Mekkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak bahwa kaum Muslimin kelihatan lestih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah saw bersabda kepada jemaahnya,
“Marilah kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan tawaf dengan berlari!”
Sesudah mencium hajar Aswad, Rasulullah saw dan para sahabat memulai tawaf dengan berlari-lari mengelilingi Ka’bahsehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran keempat setelah orang-orang usil di atas bukit Qubais pergi, Rasulullah mengajak para sahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunnah tawaf di kemudian hari: bahu kanan yang terbuka (idthiba’) serta berlari-lari kecil pata tiga putaran pertama khusus pada tawaf yang pertama.
Setelah tujuh putaran, Rasulullah saw shalat dua rakaat di Makam Ibrahim, kemudian minum air Zamzam. Sesudah itu Rasulullah melakukan sa’I antara Safa dan Marwa, dan akhirnya melakukan tahalul  (‘menghalalkan kembali’) atau membebaskan diri dari larangan-larangan ihram, dengan menyuruh Khirasy mencukur kepala beliau. Ketika masuk waktu zuhur, Rasulullah saw menyuruh Bilal bin Rabah naik kea tap Ka’bah untuk mengumandangkan azan.
Suara azan Bilal menggema ke segenap penjuru sehingga orang-orang Mekkah berkumpul ke arah “suara aneh” yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang shalat berjamaah. Hari itu, 17 Zulkaidah 7 Hijriah (17 Maret 629M0, untuk pertama kalinya azan berkumandang di Mekkah dan Nabi Muhammad saw menjadi imam shalat di depan Ka’bah.
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw dan para sahabat hanya tiga hari berada di Mekkah, kemudaian kembali ke Madinah. Tetapi, umrah tiga hari yang dilakukan kaum Muslimin di Mekkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn Walid, Amru ibn Ash, dan Utsman ibn Thalhah, menyusul ke Madinah untuk mengucapkan Kalimat Syahadat. Di kemudian hari, Khalid ibn Walid memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina serta Amru bin Ash membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi. Utsman ibn Thalhah dan keturunannya kelak diberi kepercayaan oleh Rasul untuk memegang kunci Ka’bah.
Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Ka’bah silih berganti hingga dinasti Saudi sekarang, kunci Ka’bah tetap dipegang oleh keturunan Utsman ibn Thalhah dari Bani Syaibah.
Beberapa bulan sesudah Rasulullah saw umrah, kaum Quraisy melanggar perjanjian gencatan senjata sehingga pada 20 Ramadhan 8 Hijriah (11 Januari 630M) Rasulullah Saw beserta sepuluh ribu pasukan menaklukkan Mekkah tanpa pertumpahan darah. Bahkan, Rasulullah Saw memberikan amnesti umum kepada warga Mekkah yang dahulu memusuhi Muslimin.
Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang di antara para penyayang.
Demikian sabda Rasulullah saw  mengutip ucapan Nabi Yusuf as yang tercantum dalam surat Yusuf ayat 92. Akibatnya, seluruh kaum Quraisy masuk Islam. Kemudian turun surat An-Nasr:
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, Dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nasr 1-3)
Setelah menerima ayat ini, pada rukuk dan sujud dalam shalat Rasulullah Saw mengucapkan,
“Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan pujian bagiMu. Ya Allah, ampunilah aku”.
Dengan jatuhnya kota Mekkah ke tangan umat Islam, Rasulullah saw memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah. Dan membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan serta mengembalikannya kepada syariat Nabi Ibrahim yang asli.
Pada tahun 8 Hijriah, Rasulullah saw melakukan umrah dua kali, yaitu ketika menaklukkan Mekkah dan ketika beliau pulang dari Perang Hunain. Ditambah dengan umrah tahun sebelumnya berarti Rasulullah saw sempat melakukan umrah 3 kali, sebelum beliau mengerjakan ibadah haji tahun 10 Hijriah.
Pada bulan Zulhijah tahun ke-9 Hijriah (Maret 613M), Rasulullah saw mengutus sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memimpin ibadah haji. Rasulullah sendiri tidak ikut karena beliau sibuk dalam menghadapi perang Tabuk melawan pasukan Romawi.
Abu Bakar Ash-Shiddiq mendapat perintah untuk mengumumkan dekrit yang baru saja diterima Rasulullah saw. Dekrit tersebut menyatakan mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati Masjid al-Haram dan menunaikan Ibadah Haji karena sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran Nabi Ibrahim as.
Dekrit itu dikeluarkan Rasulullah saw berdasarkan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa) karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang) maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah : 28)
Pada tahun 10 Hijriah (632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di bawah kekuasaan Nabi Muhammad Saw yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawal Rasulullah saw bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh umat dari segala penjuru sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasulullah dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tata cara) haji.
Rasulullah saw berangkat dari Madinah sesudah shalat Jumat tanggal 25 zulkaidah (21 februari) mengendarai unta beliau yang bernama Al-Qashwa’, dengan diikuti sekira 30.000 jemaah. Seluruh istri beliau ikut serta dan juga putri beliau yang saat itu masih hidup, Fatimah. Sesampai di Dzulhulaifah yang hanya belasan kilometer dari Madinah, Rasul dan rombongan singgah untuk istirahat dan mempersiapkan ihram. Di sini istri Abu Bakar Shiddiq, Asma’, melahirkan putra yang diberi nama Muhammad. Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah. Tetapi Rasulullah mengatakan bahwa Asma’ cukup mandi bersuci, memakai pembalut yang rapi, dan dapat melakukan seluruh manasik haji. Muhammad ibn Abu Bakar yang lahir di Dzulhulaifah itu kelak menjadi Gubernur Mesir pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib (656-661M).
Keesokan harinya, Sabtu 26 zulkaidah (22 februari), setelah semuanya siap untuk berihram, Rasulullah saw menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh Jemaah mengucapkan: Labbaik Allahumma Hajjan (Inilah saya, Ya Allah, untuk berhaji). Tidak ada seorang pun yang berniat umrah sebab menurut tradisi saat itu umrah hanya boleh di luar musim haji. Tiga cara haji (tamattu, Ifrad , Qiran) yang kita kenal sekarang baru diterapkan Rasulullah saw di Mekkah delapan hari berikutnya. Rombongan menuju Mekkah dengan tiada henti mengucapkan talbiyah. Pada hari Sabtu 3 Zulhijah (29 Februari), Rasul dan rombongan tiba di Sarif, 15 km di utara Mekkah, kemudian beristirahat. Aisyah , istri Nabi, kedatangan masa haidnya sehingga dia menangis karena khawatir tidak dapat menunaikan haji. Rasulullah saw menghiburnya ,
“Sesungguhnya haid itu ketentuan Allah untuk putri-putri Adam. Segeralah mandi dan engkau dapat melakukan semua manasik haji, kecuali tawaf sampai engkau suci.”
Pada Ahad 4 Zulhijah (1 Maret) pagi, Rasulullah dan rombongan memasuki kota Mekkah. Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan diperkirakan total Jemaah haji mencapai lebih dari 100.000 orang. Rasulullah memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu Syaibah yang terletak di samping telaga Zamzam di belakang Makam Ibrahim. Gerbang Banu Syaibah ini kelak popular dengan nama Babussalam (Pintu Kedamaian). Perlu diketahui bahwa yang disebut Masjid al-Haram waktu itu adalah pelataran Ka’bah tempat shalat dan tawaf (secara harfiah, masjid artinya tempat sujud). Sedangkan bangunan masjid, baru dirintis pada masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644) dan mengalami perluasan dari zaman ke zaman sehingga akhirnya megah seperti sekarang.
Juga perlu diketahui bahwa Rasulullah tidak pernah memerintahkan harus masuk masjid dari gerbang Banu Syaibah atau Babussalam. Beliau masuk pintu itu karena memang datang dari arah utara. Gerbang yang dimasuki Nabi itu kini tidak ada lagi.
Ketika pada tahun 1957 Masjid al-Haram diperluas sehingga tempat sa’I termasuk Safa dan marwa menjadi bagian masjid. Kemudian pemerintah Arab Saudi membuat banyak pintu. Dua pintu di antaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu Babussalam.
Pada awal setiap putaran tawaf, Jemaah umrah / haji disunahkan untuk memberikan penghormatan (istilam) kepada hajar aswad di pojok tenggara Ka’bah.
Rasulullah Saw memberikan empat cara istilam tersebut:
Ø      Ketika umrah pertama kali tahun 7 Hijriah, beliau mengecup Hajar Aswad.
Ø     Ketika penaklukkan Mekkah, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar Aswad dari atas unta.
Ø      Ketika umrah saat pulang dari Hunain, hajar Aswad beliau usap dengan tangan kanan.
Ø   Ketika beliau haji tahun 10 Hijriah, beliau hanya melambaikan tangan dari jauh kearah Hajar Aswad.

Cara yang keempat adalah yang sangat praktis dan mungkin paling afdal. Walaupun sekarang banyak Jemaah haji yang “berjuang” sampai bersikut-sikutan untuk mengecup hajar Aswad. Bahkan akhirnya ada yang rela melakukan yang haram (menyakiti Jemaah yang lain) untuk mengejar yang sunah.

Rasulullah Saw melakukan tawaf tujuh putaran. Ummu Salamah, salah satu istri beliau, bertawaf dengan ditandu sebab sedang sakit. Setiap melalui rukun Yamani Rasulullah Cuma mengusapnya dengan tangan. Antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad beliau mengucapkan doa paling popular.
“rabbana atina fidunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar (Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka)”
Setelah selesai tujuh putaran, beliau shalat dua rakaat di belakang Makam Ibrahim, kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau.
Sesudah itu Rasulullah Saw menuju bukit Safa untuk memulai sa’i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Ka’bah bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwa dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwa 240 meter). Sesampai di Marwa Rasulullah Saw melakukan hal serupa seperti yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak
tujuh kali.
Setelah selesai sa’i, Rasulullah Saw di Marwa menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan para sahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya. Beliau memerintahkan seluruh sahabat yang tidak membawa hadyu  (hewan kurban) agar mengubah niat menjadi umrah. Padahal selama ini umrah hanya dilakukan di luar musim haji. Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagia besar jamaah haji yang tidak membawa hadyu dapat bertahalul (bebas dari larangan ihram). Kemudian berihram lagi untuk haji tanggal 8 zulhijah. Karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Zulhijah) atau hari-hari Tasyriq (11-13 Zulhijah) mereka harus membeli hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattu’, artinya ‘bersenang-senang’ sebab masa berihram hanya beberapa hari saja.
Pada mulanya para sahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi karena manasik seperti itu (umrah di musim haji) belum pernah ada. Apalagi Nabi Saw sendiri ternyata tidak ber-tahalul. Melihat keraguan para sahabat,
Rasulullah Saw bersabda, “Seandainya aku tidak membawa hadyu, aku pun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku telah menghadapi urusanku (membawa hadyu) dan tidak dapat mundur lagi sehingga aku tidak akan bertahalul sampai aku menyembelih hadyu-ku”.
Ada juga sahabat yang penasaran bertanya, “Tahalul untuk apa saja, Ya Rasulullah?” “Tahalul untuk semuanya!” Jawab Nabi.  Kemudian Rasulullah Saw menegaskan, “Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya.” Artinya, umrah dapat dikerjakan di musim haji, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah haji. Mendengar penegasan Rasulullah, para sahabat yang sebagian besar tidak membawa hadyu ber-tahalul secara massal. Hanya Rasulullah Saw dan sebagian kecil sahabat yang tetap berihram (tidak bertahalul) sebab mereka membawa hadyu.
Sejak saat itu mulailah dikenal tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu’ atau ‘bersenang-senang’ (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau ‘mandiri’ (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk Mekkah yang membawa hadyu. Ketiga, haji Qiran atau ‘gabungan’ (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan penduduk Mekkah yang membawa hadyu.
Cara terakhir inilah, yaitu Haji Qiran, yang dikerjakan Rasulullah Saw dalam ibadah haji beliau. Hal ini disimpulkan dari fakta bahwa beliau membawa hadyu dan sesudah mengerjakan haji beliau tidak lagi melakukan umrah secara terpisah sampai beliau kembali ke Madinah tanggal 14 zulhijah.
Sebenarnya cara Haji Tamattu’ bukanlah inovasi Rasulullah Saw, melainkan memang diperintahkan oleh Allah sebagai keringanan bagi umat-Nya. Hal ini berdasarkan wahyu yang turun ketika Rasulullah dan rombongan tertahan di Hudaibiyah empat tahun sebelumnya (6 Hijriyah). Tetapi baru pada ibdaha haji tahun 10 Hijriah Rasulullah berkesempatan menerapkan pelaksanaannya. Ayat perintah tamattu’ itu kini tercantum dalam
Al-Baqarah ayat 196:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung musuh, maka sembelihlah hadyu yang mudah didapat dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur) maka dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat . Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh hari setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh hari. Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di sekitar Masjidil Haram. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukumannya.” (QS. Al Baqarah :196)
Ketika Rasulullah dan rombongan berangkat dari Dzulhulaifah, semuanya berniat haji dan tidak seorangpun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah, istri Rasulullah, yang tercatat dalam hadis-hadis, “Kami keluar bersama Nabi Saw hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan tawaf dan sa’I (‘kami’ di sini adalah Jemaah haji sebab Aisyah sedang haid), barulah Rasulullah memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk bertahalul.”
Keterangan lebih tegas lagi dari Jabir ibn Abdillah, sahabat yang paling lengkap bercerita tentang kisah haji Rasulullah.
“Kami para sahabat Rasulullah Saw bertujuan haji yang yang murni (khalishan), tidak mencampurkannya dengan umrah sebab kami tidak mengenal umrah!”
Maksud jabir sudah tentu adalah tidak mengenal “umrah di musim haji” sebab ketika Dzulhulaifah ‘sistem lama” (umrah harus di luar musim haji) belum dihapuskan oleh Rasulullah Saw.
Nabi Saw sebagai seorang pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang tepat untuk menerapkan perintah Allah dama Al Baqarah ayat 196, agar umat tidak terkejut dengan “system baru” (haji harus disertai umrah). Ketika Rasulullah dan rombongan beristirahat di Sarif  tanggal 3 Zulhijah sebelum masuk Mekkah, belia mulai melakukan “sosialisasi” sistem baru dengan mengumumkan kepada Jemaah haji, “Barangsiapa yang mau menjadikannya umrah, jadikanlah hajimu menjadi umrah”
Di sini Rasulullah hanya menghimbau dengan kalimat “siapa mau” (man sya’a). Esok harinya, tanggal 4 Zulhijah 10 Hijriah sudah berkumpul di mekkah, serta Jemaah telah santai karena sudah melaksanakan tawaf dan sa’I, barulah Rasulullah memerintahkan cara Haji Tamattu’ bagi yang tidak membawa hadyu dan mendekritkan terintegrasinya umrah ke dalam haji. Hal ini pun ternyata menimbulkan suasana heboh di kalangan para sahabat. Sehingga rasulullah harus ekstra sabar untuk meyakinkan para sahabat yang awalnya enggan “meralat” niat haji menjadi umrah.
Dari penjelasan tersebut, untuk Jemaah haji Indonesia yang bukan pribumi Mekkah dan dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan perintah Rasulullah Saw untuk mengambil cara Haji Tamattu’. Hal ini berlaku baik bagi Jemaah Gelombang Pertama (yang ke Madinah dahulu) maupun bagi Jemaah Gelombang Kedua (yang langsung ke mekkah). Bisakah Anda bayangkan? Jika ada Jemaah Indonesia yang berminat meniru Nabi Saw membawa hadyu, alangkah repotnya kondisi pesawat. Hewan kurban yang dibawa akan memenuhi pesawat. Hal ini tidak diperkenankan oleh pihak Airlines.
Dari tanggal 5 sampai 7 Zulhijah (2-4 Maret), Rasulullah Saw melakukan kegiatan-kegiatan: memimpin Shalat di Masjidil Haram, melakukan tawaf sunat, dan shalat sunat di Hijr Ismail. Meskipun beliau dalam keadaan berihram, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah tempat lahir beliau di Suq al-Layl dan berziarah ke kuburan istri yang paling beliau cintai, Khadijah al-Kubra, yang terletak di Ma’la. Beliau juga menghapuskan kebiasaan aneh pada masa Jahiliyaj, “orang yang berihram tidak boleh masuk rumah dari pintu, tetapi harus membuat lubang di belakang rumah atau masuk lewat atap!”
Tradisi yang tidak jelas asal usulnya ini, dilarang oleh Nabi Saw berdasarkan perintah Allah dalam Al-Baqarah ayat 189.
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit, katakanlah, “itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji” dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertaqwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al baqarah :189).
Pada Kamis 8 Zulhijah (5 Maret), Rasulullah Saw memerintahkan umat beliau yang memakai cara Tamattu’ kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji. Mereka yang memakai cara Ifrad atau Qiran, termasuk beliau sendiri, memang sudah dalam keadaan berihram sebab sesudah tawaf dan sa’I, mereka tidak bertahalul. Manasik haji yang beliau terapkan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina sangat perlu kita cermati sebab manasik ini merupakan “system baru” yang berbeda dengan “system lama” (cara Jahiliyah), berdasarkan aturan Ilahi dalam Al-Baqarah ayat 196-203 yang diwahyukan tahun 6 Hijriah dan baru sempat diterapkan pada ibadah haji Rasulullah Saw tahun 10 Hijriah.
Pada tanggal 8 Zulhijah pagi,
Rasulullah Saw beserta Jemaah haji pergi menuju Mina untuk mempersiapkan air sebab mulai tanggal 10 Zulhijah sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina selama beberapa hari. Itulah sebabnya tanggal 8 Zulhijah disebut hari Tarwiyah (tarwiyah artinya mempersiapkan air). Di zaman modern sekarang meskipun air di Mina sudah berlimpah sehingga para Jemaah tidak perlu tarwiyah atau mempersiapkan air, sebagian besar ulama tetap berpendapat bahwa pergi ke Mina tanggal 8 Zulhijah merupakan salah satu sunah haji. Paling tidak, itu perlu dilakukan untuk “napak tilas” perjalanan Nabi.
Saat ini pemerintah Arab Saudi terus-menerus membongkar rumah-rumah di Mina agar kapasitas mina tetap memadai dalam menampung Jemaah haji yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Akibatnya, berlaku hokum ekonomi: ongkos sewa rumah di Mina semakin mahal sehingga Jemaah haji yang ingin singgah di Mina tanggal 8 Zulhijah harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar.
Pada hari Jumat, 9 Zulhijah (6 Maret) sesudah matahari terbit, Rasulullah Saw dan seluruh Jemaah haji berangkat menuju Arafah. Ketika melewati Mudzdalifah, kaumQuraisy berharap agar Rasulullah berhenti sebab selama ini kaum Quraisy selalu berwukuf di Masy’ar al-Haram (Mudzdalifah), sedangkan yang berwukuf di Arafah adalah mereka yang bukan suku Quraisy. Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan agar seluruh Jemaah haji tanpa kecuali kembali kepada syariat Ibrahim untuk berwukuf di Arafah sesuai dengan firman Allah:
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah : 199)
Sebelum masuk Arafah, Rasulullah Saw singgah di Namirah dan ketika masuk waktu zuhur (matahari tergelincir ke barat) beliau pergi ke tengah Padang Arafah untuk berkhotbah sebagai tanda dimulainya acara wukuf. Rasulullah menghentikan unta beliau, Al-Qashwa’, di suatu tempat yang tinggi. Di samping beliau berdiri Rabi’ah ibn Umayyah yang mempunyai suara keras dan lantang. Ia ditugasi untuk menyambung suara Nabi agar jelas terdengar oleh puluhan ribu Jemaah yang hadir.
Sesudah Rasulullah mengucapkan tahmid dan takbir, memuji dan membesarkan nama Allah, beliau memberikan khotbah yang isinya antara lain sebagai berikut:
“Wahai manusia (Ayyuhan-nas), dengarkanlah kata-kataku agar aku terangkan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu dengan kamu di tempat wukuf ini sesudah tahun ini. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu darah sesamamu dan harta sesamamu sampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kamu pasti akan berjumpa dengan Tuhanmu dan Dia pasti akan menanyai kamu tentang segala perbuatanmu.
Wahai manusia, seseorang yang mempunyai hutang hendaklah mengembalikan hutang itu kepada orang yang telah mempercayainya. Segala jenis riba dihapuskan, dan kamu boleh memiliki kembali modalmu. Janganlah berbuat zalim dan kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak boleh ada riba lagi, dan riba yang pertama kuhapuskan adalah riba dari Abbas ibn Abdil Muttalib seluruhnya. Semua pertumpahan darah di masa jahiliyah harus ditinggalkan tenpa balas dendam. Hutang darah yang pertama kuhapuskan adalah darah Rabi’ah ibn Harits ibn Abdil Muttalib yang dibunuh oleh Hudzail.
Wahai manusia, sesungguhnya setan telah putus asa untuk terus disembah-sembah di negerimu ini. Akan tetapi, dia akan puas dengan ditaati dalam hal-hal selain itu, yaitu perbuatan-perbuatan yang kamu sebenarnya tahu bahwa itu salah, tetapi tetap kamu perbuat. Maka, waspadalah terhadap setan dalam hal agamamu. Sesungguhnya kamu mempunyai ha katas istri-istrimu dan mereka pun mempunyai hak terhadapmu. Bertakwalah kamu kepada Allah dalam memperlakukan istri-istrimu sebab kamu telah mengambil mereka dengan amanat Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan kamu sesuatu, yang jika kamu berpegang teguh kepadanya pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu sesuatu yang terang dan nyata: kitab Allah dan Sunnah NabiNya. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, dan tidaklah halal seseorang mengambil milik saudaranya kecuali dia memberikan dengan rela. Sesungguhnya Tuhanmu Cuma satu, dan sungguh ayah kamu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, sedangkan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa. Tidak ada keutamaan orang Arab dari orang bukan Arab melainkan lantaran takwa.”
Di akhir khotbah beliau, Rasulullah Saw bertanya kepada puluhan ribu umat yang hadir,
“Wahai manusia, apakah aku telah menyampaikan?” Jemaah haji serempak menjawab, “benar, telah engkau sampaikan.” Maka rasulullah mengacungkan tangan beliau ke langit sambil berseru, ‘Wahai Allah, saksikanlah! Wahai Allah, saksikanlah!” Kemudian Rasulullah menutup khotbah beliau dengan bersabda, “Maka hendaklah yang telah menyaksikan daripadamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga siapa yang menyampaikan akan lebih dalam memperhatikannya daripada yang sekadar mendengarkan. Mudah-mudahan berlimpah rahmat dan berkat Allah kepada kamu sekalian.”
Selesai berkhotbah, Rasulullah Saw turun dari unta, lalu memimpin shalat zuhur dan asar secara jama’ dan qasar. Kemudian beliau menuju Shakrat, batu karang di kaki bukit Jabal Rahmah. Di sini Rasulullah Saw menerima wahyu surah Al-Maidah ayat 3:
“…. Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku lengkapkan untukmu nikmatKu dan Aku relakan bagimu Islam sebagai agamamu…”
Ketika Rasulullah Saw menyampaikan wahyu yang baru beliau terima kepada para sahabat, Abu Bakar Shiddiq menangis tersedu-sedu. Umar ibn Khattab bertanya,
“Apa yang kau tangiskan, wahai Abu Bakar? Bukankah kita seharusnya bergembira bahwa agama kita telah sempurna?” Abu Bakar menjawab, “Tidaklah terpikir olehmu, wahai anak Khattab, hal itu merupakan isyarat bahwa Rasulullah mungkin Cuma sebentar lagi bersama dengan kita.”
Rasulullah Saw memerintahkan umatnya untuk tidak menyia-nyiakan waktu wukuf. “Haji itu di Arafah,” sabda beliau. Sambil menghadap kiblat, Rasulullah dan para sahabat memuji dan mengagungkan Allah, berzikir, berdoa, memohon ampun, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan memperbanyak talbiyah.
Setelah matahari terbenam, Rasulullah Saw mengajak para Jemaah haji untuk berangkat menuju Mudzdalifah (Masy’ar al-Haram), sesuai dengan firman Allah:
“… Maka ketika kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berzikirlah kepadaNya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tahu” (QS. Al Baqarah : 198)
Rasulullah Saw mengajak Usamah ibn Zaid untuk duduk di punggung unta Al-Qashwa’. Di zaman jahiliyah sudah menjadi kebiasaan untuk secepat mungkin meninggalkan Arafah dengan setengah berlari, maka Rasulullah melarang cara yang tergopoh-gopoh ini.
“Tenang, tenang, sebagaimana tenangnya jiwa. Hendaklah yang kuat di anataramu membantu dan mengawasi yang lemah,” demikianlah sabda beliau.
Sesampai di Muzdalifah, Rasulullah Saw dan rmbongan menunaikan shalat Maghrib dan Isya  secara jama’ dan qasar. Rasulullah dan sebagian besar Jemaah haji bermalam di Muzdalifah. Tetapi beliau mengizinkan orang-orang yang lemah, wanita, dan anak-anak berangkat ke Mina sesudah tengah malam. Hal ini bertujuan agar dapat melontarkan jumrah sebelum massa dating membanjiri Mina. Sawdah, istri Nabi yang paling gemuk, memohon izin untuk pergi ke Mina malam itu juga sebab tubuhnya tidak kuat berdesak-desakan. Rasulullah Saw mengizinkan dan mengirimkan Sawdah bersama Ummu Sulaim dengan ditemani oleh sepupu Rasul yang masih remaja, Abdullah ibn Abbas ibn Abdil Muttalib. Di kemudian hari, Abdullah ibn Abbas ini (nama populernya Ibnu Abbas) menjadi salah seorang perawi hadis yang termasyur.
Sesudah shalat subuh di Muzdalifah, Rasulullah Saw memimpin Jemaah haji menuju Mina. Kini yang beliau ajak membonceng di punggung Al-Qashwa’ adalah sepupu beliau Fadhil ibn Abbas (kakanya Abdullah). Ketika melewati lembah Muhassir, Rasulullah menyuruh para Jemaah haji mempercepat langkah seraya bersabda,
“Bersegeralah melewati Muhassir  sebab di lembah ini ashhabu I-fil  (pasukan Gajah) Abrahah dimusnahkan burung Ababil.”
Pada hari Sabtu, 10 Zulhijah (7 Maret), pagi hari Rasulullah Saw sampai di Mina. Beliau tidak mampir di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju Jumrah Aqabah. Tepat sebelas tahun sebelumnya, pada musim haji tahun 621 (setahun sebelum Hijrah) di bukit Aqabah, persis di atas jumrah, Rasulullah Saw menerima ikrar sumpah setia dari para wakil masyarakat Anshar (suku Aws dan Khazraj) yang mengundang beliau untuk berhijrah ke kota mereka, Yastrib atau Madinah.
Berbeda dengan jumrah ula dan Jumrah Wustha yang terletak di lapangan terbuka, Jumrah Aqabah terletak di kaki bukit. Itulah sebabnya penampang batu lontaran di Jumrah ula dan Jumrah Wustha berbentuk lingkaran, sedangkan di jumrah Aqabah Cuma setengah lingkaran karena terhalang cadas bukit. Di kemudian hari, meskipun bukit Aqabah sudah diratakan dengan tanah,umat Islam “tidak berani” menjadikan penampung batu lontaran di Jumrah Aqabah sebagai lingkaran penuh seperti dua jumrah yang lain, mungkin karena takut dianggap bid’ah.
Pada tanggal 10 Zulhijah itu Rasulullah Saw melakukan berbagai manasik dengan urutan sebagai berikut: Rasulullah melontar beliau bertakbir pada setiap lontaran. Inilah perlambang usaha penolakan secara maksimal terhadap godaan setan. Sesudah melontar beliau berdoa,
“Allahumma j’alhu hajian mabruran wa sa’yan masykuran wa dzanban maghfura”. (Yaa Allah, jadikanlah manasik ini membuahkan haji yang bermutu, usaha yang diterima, dan dosa yang terampuni.
Kemudian Rasulullah menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor disembelih oleh Ali ibn Abi Thalib. Sesudah itu Rasulullah Saw melakukan tahalul dengan menyuruh Khirasy, yang pernah mencukur kepala beliau ketika umrah tahun 7 Hijriah. Saat mengharukan ketika Rasul dicukur, Khalid ibn Walid dan Suhail ibn Amr memunguti rambut-rambut beliau yang jatuh, lalu mengusapkan rambut-rambut itu ke muka mereka sambil menangis karena menyesali perbuatan mereka sebelum masuk Islam.
Selanjutnya, Rasulullah Saw pergi ke Mekkah untuk melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Setelah shalat zuhur, beliau kembali ke Mina. Oleh karena itu, Rasulullah mengambil cara Haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Zulhijah itu beliau tidak melakukan sa’I di antara Safa dan Marwa. Sa’I beliau cukup satu kali tanggal 4 Zulhijah yang sudah mencakup sa’I  haji dan umrah. Tetapi sebagian besar para sahabat melakukan sa’I tanggal 10 Zulhijah atau sesudahnya karena mereka mengambil cara Haji Tamattu’ sesuai perintah Rasulullah Saw.
Inilah sa’I haji bagi para sahabat yang Tamattu sebab sa’I mereka tanggal 4 Zulhijah adalah sa’I umrah saja dan belum sa’I haji.
Rasulullah Saw memberikan kelonggaran pada Jemaah Haji untuk melakukan manasik dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta tawaf dan sa’I boleh dilakukan secara acak, tidak harus berurutan. Para Jemaah haji boleh mendahulukan mana yang sempat dikerjakan. Bahkan manasik-manasik di atas, tidak harus semuanya terlaksana pada hari Nahar (10 Zulhijah).
Penyembelihan hadyu boleh dilakukan pada hari-hari
Tasyriq (11-13 Zulhijah). Tawaf dan sa’I boleh dilakukan pada hari-harin Tasyriq. Boleh juga dilakukan sesudah Jemaah pulang dari Mina asalkan masih dalam bulan Zulhijah. Juga boleh dilakukan urutan seperti ini: dari Muzdalifah Jemaah haji langsung ke Mekkah melakukan tawaf dan sa’I, lalu tahalul mencukur atau menggunting rambut di Marwa, kemudian baru ke Mina untuk melontar jumrah atau menyembelih hadyu. “Kerjakan saja, tidak apa-apa” (If’al, la haraj).’ Demikianlah selalu jawaban Rasulullah Saw ketika beliau ditanya oleh para jamaah mengenai urusan mansik-manasik di atas.
Apapun urutan manasik yang dipilih oleh Jemaah haji, Rasulullah Saw menginstruksikan Jemaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam hari Tasyriq, kecuali mereka yang karena kesibukannya tidak dapat menginap. Rasulullah mengizinkan paman beliau, Abbas ibn Abdil muttalib, bermalam di Mekkah untuk mengelola siqayah (air Zamzam untuk Jemaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak mereka di malam hari diberi izin oleh Rasulullah untuk tidak menginap di Mina.
Pada tanggal 11 dan 12 Zulhijah, sesudah masuk waktu zuhur, Rasulullah Saw dan para Jemaah haji melontar masing-masing tujuh lontaran secara berturut-turut Jumrah ula, jumrah Wustha, dan akhirnya jumrah Aqabah. Beliau berdoa sesudah melontar Jumrah ula dan Jumrah Wustha, tetapi segera pergi setelah melontar Jumrah Aqabah. Rasulullah memberikan kelonggaran bagi yang tidak sempat melontar pada siang hari untuk melakukannya di malam hari. Untuk orang yang sakit, lanjut usia, lemah, atau wanita hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain.
Di masa jahiliyah kaum Quraisy menggunakan waktu luang di Mina untuk saling membanggakan silsilah keturunan dan kehebatan nenek moyang masing-masing. Rasulullah Saw melarang kebiasaan takabur ini dan menggantinya dengan zikir kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah:
“Maka ketika kamu menunaikan ibadah hajimu, berzikirlah kepada Allah seperti berzikir nenek moyangmu, bahkan harus lebih hebat zikirnya” (QS. Al Baqarah :200)
Rasulullah Saw juga menerapkan kebolehan dari Allah bagi Jemaah haji untuk memilih dua hari atau tiga hari dalam melontar tiga jumrah, sesuai dengan firman Allah:
“Barangsiapa yang bergegas (meninggalkan mina) dalam dua hari maka tiada dosa baginya dan barangsiapa yang belakangan juga taiada dosa baginya, yakni bagi mereka yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkanNya” (QS Al Baqarah : 203)
Jadi pada tanggal 12 Zulhijah  sore hari Jemaah haji boleh melakukan nafar awwal (pulang duluan) meninggalkan Mina pulang ke Mekkah. Mereka yang ingin nafar awwal harus berada di luar Mina sebelum Maghrib. Jika saat maghrib masih di Mina , mereka harus mengambil nafar tsani (pulang rombongan kedua), yaitu harus bermalam di Mina dan melontar lagi t iga jumrah tanggal 13 Zulhijah. Setelah itu, Jemaah pulang ke Mekkah. Sebagian sahabat memilih nafar awwal dan sebagian lgi memilih nafar tsani. Adapun Rasulullah Saw melakukan nafar tsani, pulang ke Mekkah tanggal 13 Zulhijah.
Pada malam 14 Zulhijah, Rasulullah Saw menyuruh istri beliau, Aisyah ra, yang selesai masa haidnya untuk menunaikan umrah. “inilah pengganti umrahmu yang gagal”, sabda beliau. Aisyah kembali berihram dari Tan’im dengan ditemani adiknya, Abdurrahman ibn Abi Bakar. Lalu mereka melakukan tawaf dan sa’I sehingga bertahalul di Marwa. Pengalaman Aisyah yang melakukan Haji Ifrad (haji dulu, baru umrah) dijadikan dasar oleh para ulama di kemudian hari untuk membolehkan Haji Ifrad bagi yang bukan penduduk Mekkah dan tidak membawa hadyu.
Pengalaman Abdurrahman ibn Abi Bakar yang melakukan umrah lagi, dijadikan dasar untuk membolehkan umrah sunah di musim haji dengan berihram dari Ta’nim. Tetapi ada juga para ulama yang berpendapat bahwa Jemaah yang tidak membawa hadyu harus melakukan Haji Tamattu’ sesuai perintah Rasul (Aisyah melakukan Ifrad lantaran haid) serta umrah sunah di musim haji tidak dicontohkan Rasul dan para sahabat (umrahnya Abdurrahman lantaran menemani kakanya_. Wallahualam.
Sesudah shalat subuh hari Rabu 14 Zulhijah (11 maret), Rasulullah Saw dengan istri-istri beliau kecuali Safiyah yang mengalami haid dua hari sebelumnya, melakukan tawaf wada (tawaf perpisahan), lalu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah tidak dapat berada lama-lama di Mekkah sebab pekerjaan beliau sebagai Kepala Negara harus segera beliau rampungkan. Tiga bulan sesudah itu, pada hari Senin tanggal 12 Rabiul awal 11 Hijriah (8 Juni 632 M), Rasulullah Saw berpulang ke Rahmatullah. Sesungguhnya kita milik Allah dan sungguh kepadaNya kita akan kembali.


Begitulah sejarah kisah ibadah haji dari Nabi Ibrahim as sampai Nabi Muhammad Saw.
Di samping untuk melaksanakan perintah Allah, ibadah haji dan umrah sangat banyak manfaatnya, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 28:
“….Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka…”

Rasa nikmat menunaikan ibadah haji dan umrah sungguh luar biasa dan tidak dapat diceritakan, melainkan hanya dapat dirasakan sendiri.


Pengertian Haji dan Umrah – Hukum, Syarat, Rukun, Sunah Haji dan Umrah

Rukun Islam yang terakhir adalah naik haji ke Baitullah. Maksudnya adalah berkunjung ke tanah suci untuk melaksanakan serangkaian amal ibadah sesuai dengan syarat, rukun, dan waktu yang telah ditentukan. Ibadah haji ditentukan kepada muslim yang mampu. Pengertian mampu atau kuasa yaitu mempunyai bekal yang cukup untuk pergi dan bekal bagi keluarga yang ditinggalkannya. Sama halnya dengan umrah yang dapat dilakukan pada bulan- bulan lain selain bulan Zulhijah.

Haji dan umrah merupakan suatu kegiatan rohani yang di dalamnya terdapat pengorbanan, ungkapan rasa syukur, berbuat kebajikan dengan kerelaan hati, melaksanakan perintah Allah, serta mewujudkan pertemuan besar dengan umat Islam lainnya di seluruh dunia. Firman Allah swt. Surah Al Baqarah Ayat 125.
Pengertian Haji dan Umrah
Pengertian haji menurut bahasa (etimologi) adalah pergi ke Baitullah (Kakbah) untuk melaksanakan ibadah yang telah ditetapkan atau ditentukan Allah swt.
Pengertian haji secara istilah (terminologi) adalah pergi beribadah ke tanah suci (Mekah), melakukan tawaf, sa’i, dan wukuf di Padang Arafah serta melaksanakan semua ketentuan-ketentuan haji di bulan Zulhijah.
Pengertian umrah menurut bahasa (etimologi) yaitu diambil dari kata “i’tamara” yang artinya berkunjung. Di dalam syariat, umrah artinya adalah berkunjung ke Baitullah (Masjidil Haram) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan memenuhi syarat tertentu yang waktunya tidak ditentukan seperti halnya haji.
Hukum Haji dan Umrah
Hukum melaksanakan haji adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu, sesuai dengan firman Allah dalam Surah Ali Imran Ayat 97. yang artinya : “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (di antaranya) maqam Ibrahin, barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran: 97).
Sebagai ulama berpendapat bahwa umrah hukumnya mutahabah artinya baik untuk dilakukan dan tidak diwajibkan. Hadis Nabi Muhammad saw. menyatakan sebagai berikut.
Artinya: Haji adalah fardu sedangkan umrah adalah “tatawwu.” (Al Hadis)
atawwu maksudnya ialah tidak diwajibkan, tetapi baik dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan melakukannya lebih utama daripada meninggalkannya karena tatawwu mempunyai ganjaran pahala.

Syarat, Rukun, Wajib, serta Sunah Haji dan Umrah

Syarat Haji
Syarat wajib haji adalah mampu (kuasa), Islam, berakal, balig, merdeka, ada bekal, dan aman
dalam perjalanan.

Rukun Haji
Rukun haji adalah sebagai berikut :

Ihram
Ihram yaitu berniat untuk mulai mengerjakan ibadah haji dengan memakai kain putih yang tidak dijahit. Ibadah ini dimulai setelah sampai di miqat (batas-batas yang telah ditetapkan).
Miqat ini dibagi dua yaitu:
1.    miqat zamani, yakni batas yang telah ditentukan berdasarkan waktu. Mulai bulan Syawal sampai terbit fajar tanggal 10 Zulhijah. Maksudnya, hanya pada masa itulah ibadah haji bisa dilaksanakan.
2.    miqat makani yakni, batas yang telah ditetapkan berdasarkan tempat. Miqat makani dibagi
ke dalam beberapa temjat yaitu sebagai berikut:
·       Bagi orang yang bermukim di Mekah, niat ihram dihitung sejak keluar dari Mekah.
·       Bagi orang yang berasal dari Madinah dan sekitarnya, niat ihram dimulai sejak mereka sampai di Dzulhulaifah (Bir Ali).
·       Bagi orang dari Syam, Mesir, dan arah barat, memulai ihram mereka ketika sampai di Juhfah.
·       Bagi orang yang datang dari Yaman dan Hijaz, ihram dimulai setelah mereka sampai di bukit Qarnul Manazil.
·       Bagi orang dari India, Indonesia, dan negara yang searah memulai ihram setelah mereka berada di bukit Yalamlam.
·       Bagi orang yang datang dari arah Irak dan yang searah dengannya, ihram dimulai dari Dzatu Irqin.
Wukuf di Arafah
Wukuf di Arafah adalah berhenti di Padang Arafah sejak tergelintirnya matahari tanggal 9 Zulhijah sampai terbit fajar pada tanggal 10 Zulhijah.
Tawaf Ifadah
Tawaf ifadah adalah mengelilingi Kakbah sebanyak 7 kali dengan syarat sebagai berikut:
1)  Suci dari hadas dan najis baik badan maupun pakaian.
2)  Menutup aurat.
3)  Kakbah berada di sebelah kiri orang yang mengelilinginya.
4)  Memulai tawaf dari arah hajar aswad (batu hitam) yang terletak di salah satu pojok di luar Kakbah.
Macam-macam tawaf itu sendiri ada lima macam yaitu seperti berikut ini:
a)  Tawaf qudum adalah tawaf yang dilakukan ketika baru sampai di Mekah
b)  Tawaf ifadah adalah tawaf yang menjadi rukun haji
c)  Tawaf sunah adalah tawaf yang dilakukan semata-mata mencari rida Allah.
d)  Tawaf nazar adalah tawaf yang dilakukan untuk memenuhi nazar.
e)  Tawaf wada adalah tawaf yang dilakukan sebelum meninggalkan kota Mekah
Sa’i
Sa’i adalah lari-lari kecil atau jalan cepat antara Safa dan Marwa (keterangan lihat QS Al Baqarah: 158). Syarat-syarat sa’i adalah sebagai berikut :
1)  Dimulai dari bukit Safa dan berakhir di bukit Marwa.
2)  Dilakukan sebanyak tujuh kali.
3)  Melakukan sa’i setelah tawaf qudum.
Tahalul
Tahalul adalah mencukur atau menggunting rambut sedikitnya tiga helai. Pihak yang mengatakan bercukur sebagai rukun haji, beralasan karena tidak dapat diganti dengan penyembelihan.
Tertib.
Tertib maksudnya adalah menjalankan rukun haji secara berurutan.

WAJIB HAJI
Wajib haji ada tujuh macam, yakni sebagai berikut:
a.   Ihram mulai dari miqat.
b.   Bermalam di Muzdalifah pada malam hari raya haji.
c.   Melempar Jumratul Aqabah.
d.   Melempar tiga jumrah yakni.
1.   jumrah ula,
2.   jumrah wusta, dan
3.   jumrah aqabah.
Melempar jumrah ini dilakukan setiap hari pada tanggal 11, 12, dan 13 bulan Zulhijah dan waktunya setelah tergelincir matahari. Masing-masing jumrah dilempar sebanyak 7 (tujuh) kali dengan batu kecil.
e.   Bermalam di Mina.
f.    Tawaf wada.
g.   Menjauhkan diri dari larangan atau perbuatan yang diharamkan dalam ihram dan umrah yaitu sebagai berikut.
1.   Bagi pria dilarang memakai pakaian berjahit.
2.   Menutup kepala bagi pria dan menutup muka bagi wanita
3.   Memotong kuku.
4.   Membunuh hewan buruan.
5.   Memakai wangi-wangian.
6.   Hubungan suami isteri (bersetubuh)
7.   Mengadakan aqad nikah (kawin atau mengawinkan).
8.   Memotong rambut atau bulu badan yang lain.

SUNAH HAJI
Adapun sunah haji ada enam perkara, yakni sebagai berikut :
1.      Cara mengerjakan haji dan umrah. Terdapat tiga macam sunah mengerjakan haji dan umrah yaitu sebagai berikut:
Ifrad : melakukan haji lebih dahulu, kemudian barn umrah.
Tamattu : mendahulukan umrah, kemudian haji.
Qiran : ibadah haji dan umrah dilakukan secara bersama-sama.
2.      Membaca talbiyah selama dalam ihram sampai melempar jumrah aqabah pada Hari Raya Haji. (Idul Adha).
3.      Berdoa setelah membaca talbiyah.
4.      Berzikir sewaktu tawaf.
5.      Salat dua rakaat sesudah tawaf.
6.      Masuk ke Kakbah (Baitullah).
Adapun rukun dan wajib umrah lebih sedikit daripada haji, yakni sebagai berikut.
1. Rukun Umrah
a.   Ihram disertai niat.
b.   Tawaf atau mengelilingi Kakbah.
c.   Sa’i lari-lari kecil antara Safa dan Marwa.
d.   Bercukur atau memotong rambut minimal tiga helai.
2. Wajib Umrah
a.    Ihram dari miqat yang terbagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut :
1)      Miqat zamani (batas waktu) yakni dapat dilakukan sewaktu-waktu.
2)      Miqat makani (batas mulai ihram) seperti halnya haji.
b.    Menjaga diri dari larangan-larangan ihram yang jumlahnya sama dengan larangan haji.

Mewakilkan Seseorang Untuk Berhaji
Tidak boleh bagi seseorang berhaji untuk orang lain kecuali setelah ia berhaji untuk dirinya sendiri. Rasulullah bersabda: Berhajilah untuk dirimu sendiri, kemudian engkau berhaji untuknya.

Haji Bagi Anak-anak yang belum Baligh
Tidaklah wajib bagi anak-anak untuk berhaji kecuali ia telah baligh. Namun jika ia telah berhaji maka hajinya sah sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah  berjumpa dengan seorang berkendaraan dikawasan Ar-Raudha beliau bersabda: Siapakah kalian? Mereka menjawab: Kami orang-orang muslim, mereka balik bertanya: Siapa anda? Beliau menjawab: Saya Rasul Allah. Lalu ada seorang anak gadis yang masih kecil bertanya: Apakh ini yang disebut haji? Beliau menjawab: Ya dan bagimu pahala (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan An Nasa dishahihkan oleh At Tirmidzi).

Rangkaian kegiatan ibadah Haji
1.    Sebelum tanggal 8 Dzulhijjah, calon jamaah haji mulai berbondong untuk melaksanakan Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah.
2.    Calon jamaah haji memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai pakaian haji), sesuai miqatnya, kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah, yaitu mengucapkan Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika laka..
3.    Tanggal 9 Dzulhijjah, pagi harinya semua calon jamaah haji menuju ke padang Arafah untuk menjalankan ibadah wukuf. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang Arafah hingga Maghrib datang.
4.    Tanggal 9 Dzulhijjah malam, jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabbit (bermalam) dan mengambil batu untuk melontar jumroh secukupnya.
5.    Tanggal 9 Dzulhijjah tengah malam (setelah mabbit) jamaah meneruskan perjalanan ke Mina untuk melaksanakan ibadah melontar Jumroh
6.    Tanggal 10 Dzulhijjah, jamaah melaksanakan ibadah melempar Jumroh sebanyak tujuh kali ke Jumroh Aqobah sebagai simbolisasi mengusir setan. Dilanjutkan dengan tahalul yaitu mencukur rambut atau sebagian rambut.
7.    Jika jamaah mengambil nafar awal maka dapat dilanjutkan perjalanan ke Masjidil Haram untuk Tawaf Haji (menyelesaikan Haji)
8.    Sedangkan jika mengambil nafar akhir jamaah tetap tinggal di Mina dan dilanjutkan dengan melontar jumroh sambungan (Ula dan Wustha).
9.    Tanggal 11 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
10.  Tanggal 12 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
11.  Jamaah haji kembali ke Makkah untuk melaksanakan Thawaf Wada’ (Thawaf perpisahan) sebelum pulang ke negara masing-masing

Rangkaian Kegiatan Ibadah Umrah
1.    Diawali dengan mandi besar (janabah) sebelum ihram untuk umrah.
2.    mengenakan pakaian ihram. Untuk lelaki 2 kain yang dijadikan sarung dan selendang, sedangkan untuk wanita memakai pakaian apa saja yang menutup aurat tanpa ada hiasannya dan tidak memakai cadar atau sarung tangan.
3.    Niat umrah dalam hati dan mengucapkan Labbaika ‘umrotan atau Labbaikallahumma bi’umrotin. Kemudian bertalbiyah dengan dikeraskan suaranya bagi laki-laki dan cukup dengan suara yang didengar orang yang ada di sampingnya bagi wanita, yaitu mengucapkan Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika laka.
4.    Sesampai Masjidil Haram menuju ka’bah, lakukan thawaf sebanyak 7 kali putaran.3 putaran pertama jalan cepat dan sisanya jalan biasa. Thowaf diawali dan diakhiri di hajar aswad dan ka’bah dijadikan berada di sebelah kiri. Setiap putaran menuju hajar aswad sambil menyentuhnya dengan tangan kanan dan menciumnya jika mampu dan mengucapkan Bismillahi wallahu akbar. Jika tidak bisa menyentuh dan menciumya, maka cukup memberi isyarat dan berkata Allahu akbar.
5.    Shalat 2 raka’at di belakang maqam Ibrahim jika bisa atau di tempat lainnya di masjidil haram dengan membaca surat Al-Kafirun pada raka’at pertama dan Al-Ikhlas pada raka’at kedua.
6.    Selanjutnya Sa’i dengan naik ke bukit Shofa dan menghadap kiblat sambil mengangkat kedua tangan dan mengucapkan Innash shofa wal marwata min sya’aairillah. Abda’u bima bada’allahu bihi (Aku memulai dengan apa yang Allah memulainya). Kemudian bertakbir 3 kali tanpa memberi isyarat dan mengucapkan Laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu. Lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syai’in qodiir. Laa ilaha illallahu wahdahu anjaza wa’dahu wa shodaqo ‘abdahu wa hazamal ahzaaba wahdahu 3x. Kemudian berdoa sekehendaknya. Sa’i dilakukan sebanyak 7 kali dengan hitungan berangkat satu kali dan kembalinya dihitung satu kali, diawali di bukit Shofa dan diakhiri di bukit Marwah.
7.    Mencukur rambut kepala bagi lelaki dan memotongnya sebatas ujung jari bagi wanita.
8.    Ibadah Umroh selesai

Persiapan Ibadah Haji, beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum menunaikan ibadah Haji:
1.    Membersihkan diri dari dosa dan kesalahan baik langsung kepada Allah SWT. maupun kepada sesama manusia.
2.    Karena ibadah Haji adalah ibadah fisik, maka perlu mempersiapkan mental untuk mengikuti seluruh rangkaian ibadah haji yang memerlukan stamina tinggi, keikhlasan dan kepasrahan kepada Allah SWT.
3.    Mempersiapkan biaya, baik selama dalam perjalanan haji, maupun untuk nafkah keluarg yang ditinggalkan.
4.    Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan harta kekayaan, seperti zakat, nadzar, hutang, infaq dan shadaqah.
5.    Melaksanakan janji yang pernah diucapkan.
6.    Menyelesaikan segala urusan yang berhubungan dengan keluarga yang akan ditinggalkan.7. Memohon do’a restu kepada kedua orang tua (jika masih hidup)
7.    Mempersiapkan ilmu dan pengetahuan agama, dan mengikuti kegiatan manasik haji.
8.    Mempersiapkan obat-obatan pribadi selama menjalankan ibadah haji.
9.    Mempersiapkan beberapa perlengkapan untuk keperluan selama perjalanan ibadah Haji:

Perlengkapan Pria
1.    Kain Ihram dua stel
2.    Baju sehari-hari secukupnya
3.    Ikat pinggang
4.    Keperluan mandi

Perlengkapan Wanita
1.    Mukena minimal 2 buah
2.    Pakaian ihram (rok putih dan mukena atas putih) 2 set
3.    Pakaian sehari-hari secukupnya
4.    Kaos kaki secukupnya

Perlengkapan untuk Pria dan Wanita
1.    Pakaian penghangat
2.    Selimut
3.    Sandal jepit
4.    Sepatu sandal atau sendal gunung
5.    Obat-obatan pribadi
6.    Gunting kecil utk Tahallul
7.    Payung
8.    Senter kecil (untuk penerangan saat mengambil batu di Musdalifah)
9.    Kantong kecil untuk menyimpan batu kerikil persiapan melempar jumroh
10.  Kantong sandal untuk tempat sandal saat di Masjid
11.  Pelembab atau cream, gunakan untuk tangan dan kaki
12.  Biaya untuk dam, kurban dsb.

Lokasi Utama Ibadah Haji dan Umroh

Makkah Al Mukaromah
Di kota Makkah Al-Mukaromah inilah terdapat Masjidil Haram yang didalamnya terdapat Ka’bah yang merupakan kiblat ibadah umat Islam sedunia. Dalam rangkaian perjalanan ibadah haji, Makkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah haji.

Padang Arafah
Padang Arafah terdapat di sebelah timur Kota Makkah. Padang Arafah dikenal sebagai tempat pusatnya haji, sebagai tempat pelaksanaan ibadah wukuf yang merupakan rukun haji. Di Padang Arafah juga terdapat Jabal Rahmah tempat pertama kali pertemuan Nabi Adam dan Hawa. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.

Kota Muzdalifah
Kota ini tidak jauh dari kota Mina dan Arafah Mota Muzdalifah merupakan tempat jamaah calon haji melakukan Mabit (bermalam) dan mengambil batu untuk melontar Jumroh di Kota Mina.

Kota Mina
Kota Mina merupakan tempat berdirinya tugu (jumrah), yaitu tempat pelaksanaan melontarkan batu ke tugu (jumrah) sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Disana terdapat tiga jumrah yaitu jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha.



Demikian penjelasan yang bisa kami sampaikan tentang Pengertian Haji dan Umrah – Hukum, Syarat, Rukun, Sunah Haji dan Umrah.