SEKILAS HAJI & UMROH
SEJARAH HAJI & UMROH
Sejarah
Haji dan Umroh – Sejarah’ diambil dari bahasa Arab, ‘syajaratun’ yang
berarti pohon. Secara istilah, sejarah berarti gambaran sebuah pertumbuhan
peradaban manusia dengan perlambang ‘pohon’. Yang tumbuh bermula dari biji
kemudian menjadi pohon yang lebat rindang dan berkesinambungan.
Sejarah
berkaitan erat dengan perubahan. Bagaimana dengan Sejarah Ibadah Haji dan
Umroh?
Sejarah
Haji dalam Islam bermula dari ribuan tahun lalu. Pada masa Nabi Ibrahim as
(1861-1686 SM), yang merupakan keturunan Sam bin Nuh as (3900-2900 SM).
Literatur dalam Islam menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim lahir di Urkasdim, kota
penting di Mesopotamia kemudian beliau berdiam pada sebuah lembah di negeri
Syam. Ketika sampai berusia senja beliau belum juga diberikan keturunan, Sarah
sedih dan meminta Ibrahim menikahi Hajar. Allah Swt mengaruniainya seorang
putra bernama Ismail. Sarah tidak mampu memendam rasa pilu hatinya karena tidak
mendapatkan keturunan sepanjang perkawinannya dengan Nabi Ibrahim as. Nabi
Ibrahim kemudian mengadukan permasalahannya kepada Allah. Allah Swt lalu
memerintahkan membawa Ismail bersama Hajar menjauh dari Sarah.
Ibrahim
bertanya : “Ya Allah, kemana saya harus membawa keluarga saya?”
Allah
berfirman : “Bawalah ke tanah haramKu dan pengawasanKu, yang merupakan daratan
pertama Aku ciptakan di permukaan bumi yaitu Mekkah.”
Lalu
Jibril as turun membawa kendaraan cepat. Kemudian membawa Hajar, Ismail, dan
Nabi Ibrahim as. Setiap Nabi Ibrahim as melewati suatu tempat yang memiliki
ladang kurma yang subur, ia selalu meminta kepada Jibril untuk berhenti. Tetapi
Jibril selalu menjawab, “teruskan lagi” dan “teruskan lagi”. Sehingga sampai di
Mekkah, Jibril menurunkan mereka di posisi Ka’bah. Di bawah sebuah pohon yang
cukup melindungi Hajar dan anaknya Ismail dari terik matahari.
Selanjutnya
Nabi Ibrahim as bermaksud pulang kembali ke negeri Syam menemui istri
pertamanya. Hajar merasa sedih akan ditinggal oleh suaminya tercinta. “Mengapa
engkau menempatkan kami di sini. Tempat yang sunyi dari manusia, hanya gurun
pasir, tiada air, dan tiada tumbuh-tumbuhan?” tanya Hajar sambil memeluk erat
bayinya, Ismail.
Ibrahim
menjawab: “Sesungguhnya Allah yang memerintahkanku menempatkan kalian disini”.
Lalu
Ibrahim beranjak pergi meninggalkan mereka. Sehingga sampai ke bukit Kuday yang
mempunyai lembah, Ibrahim berhenti sejenak dan melihat kepada keluarga yang
ditinggalkannya. Dia lalu berdoa, seperti yang diabadikan di dalam Al-Quran.
Allah
berfirman mengulangi doa Ibrahim: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah
menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman
di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian
itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim:37).
Setelah
Ibrahim pergi, tinggallah Hajar bersama bayinya, Ismail. Ketika sinar matahari
mulai menyengat, bayi Ismail menangis kehausan. Hajar pun panik mencari air.
Naluri keibuannya berusaha gigih mencari air. Awalnya Hajar naik ke bukit Safa
tapi tidak menemukan air. Lalu ia pergi lagi ke bukit Marwa dan di sana pun
tidak menemukan air. Hajar panik dan sedikit putus asa, sehingga ia tidak
menyadari telah tujuh kali berlari bolak-balik antara bukit Safa dan Marwa.
Namun ia tetap tidak menemukan air di antara dua tempat tersebut.
Akhirnya
dari bukit Marwa, Hajar melihat ke arah Ismail. Dia heran, bayinya tiba-tiba
berhenti menangis. Dia pun melihat air mengalir dari bawah kaki Ismail. Hajar
berlari dengan girang menuju tempat bayinya. Dia berusaha menggali pasir,
membendung air yang mengalir tersebut sambil melafazkan kalimat “Zam…Zam”
(menampung). Sejak saat itu sehingga sekarang, mata air tersebut dikenal
seluruh penjuru dunia dengan sebutan sumur “Zamzam”.
Berselang
beberapa waktu kemudian, lewatlah Kabilah Jurhum di sekitar tempat itu. Ketika
berada di bukit Arafah, mereka melihat kerumunan burung-burung beterbangan di
atas udara. Mereka yakin di sana pasti ada sumber air. Mereka segera mendekati
tempat tersebut.
Setelah
sampai, mereka terkesima melihat seorang wanita bersama bayinya duduk di bawah
pohon dekat sumber air itu. Kepala suku Jurhum bertanya kepada Hajar: “Siapakah
Anda dan siapakah bayi mungil dalam gendonganAnda itu?” Hajar menjawab: “Saya
adalah ibu dari bayi ini. Ia anak kandung dari Ibrahim as yang diperintahkan
oleh Tuhannya menempatkan kami di wadi ini”.
Lalu
kepala suku Jurhum meminta izin tinggal berseberangan dengannya. Hajar
menjawab: “Tunggulah sampai Ibrahim datang. Saya akan meminta izin kepadanya”.
Tiga
hari kemudian, Nabi Ibrahim as datang melihat kondisi anak dan istrinya. Hajar
meminta izin kepada Ibrahim agar kabilah Jurhum bisa menjadi tetangganya. Nabi
Ibrahim memberi izin. Kabilah Jurhum menjadi tetangga Hajar dan Ismail di
tempat itu. Pada kesempatan berziarah selanjutnya, Ibrahim menyaksikan
tempat itu sudah ramai oleh keturunan bangsa Jurhum. Ibrahim merasa senang melihat
perkembangan itu.
Hajar
hidup rukun dengan bangsa Jurhum hingga Ismail mencapai usia remaja.
Selanjutnya Allah Swt memerintahkan kepada Ibrahimuntuk membangun Ka’bah pada
posisi Qubah yang telah Allah turunkan kepada Nabi Adam. Tetapi Ibrahim tidak
mengetahui posisi Qubah itu. Qubah tersebut telah diangkat kembali oleh Allah
ketika banjir besar menimpa bumi pada masa Nabi Nuh as. Kemudian Allah Swt
mengutus Jibril as untuk menunjukan kembali kepada Ibrahim posisi Ka’bah.
Jibril datang membawa beberapa komponen Ka’bah dari surge. Pemuda Ismail
membantu ayahandanya mengangkat batu-batu dari bukit.
Kemudian
ayah dan anak itu bekerja membangun Ka’bah sampai ketinggian tujuh hasta.
Jibril lalu menunjukan kepada mereka posisi “Hajar Aswad”. Ibrahim meletakkan
Hajar Aswad pada posisi semula. Lalu Ibrahim membuatkan dua pintu Ka’bah. Pintu
pertama terbuka ke timur dan kedua terbuka ke barat.
Ketika
selesai pembangunan Ka’bah, Ibrahim dan Ismail melakukan Ibadah Haji. Pada
tanggal 8 Zulhijah, Jibril turun menemui dan menyampaikan pesan kepada Ibrahim.
Jibril meminta Ibrahim mendistribusikan air Zamzam ke beberapa tempat seperti
Mina dan Arafah. Maka hari itu disebut dengan hari “Tarwiyah” (pendistribusian
air). Setelah selesai pembangunan Baitullah dan pendistribusian air tersebut,
maka Ibrahim pun berdoa kepada Allah. Doa ini tercantum di dalam Al-Qur’an.
Allah swt berfirman :
“Dan
ingatlah, ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri
yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya
yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman :
“Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku
paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. Al-Baqarah
: 126).
Sejak
itu, kaum Muslimin melaksanakan ritual haji untuk berziarah ke Ka’bah setiap
tahun. Ini mengikuti risalah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, serta risalah
para nabi dan rasul setelah keduanya. Ritual suci ini berlangsung terus seperti
pelaksanaan yang pernah dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail. Namun pada periode
tokoh Mekkah ‘Amar bin Luhay, ritual haji mulai terkotori dengan kehadiran
patung dan berhala.
Tokoh
‘Amar bin Luhay merupakan orang yang pertama kali menyebarkan ajaran menyembah
berhala di seluruh Jazirah Arab. Dialah yang bertanggung jawab meruba ajaran
tauhid menjadi menyembah berhala.
Sejak
itu, orang-orang Arab meletakkan patung dan berhala yang mereka anggap sebagai
tuhan di sekitar Ka’bah. Bahkan sebagian kabilah Mekkah mempunyai mata
pencaharian sebagai pembuat patung dan berhala.
Mereka
tetap memperbolehkan kabilah atau kelompok lain untuk menunaikan Haji ke
Baitullah, tanpa membedakan agama dan kepercayaan. Para pemeluk agama tauhid
termasuk agama Masehi, masih terus menjalankan ritual haji ke Ka’bah. Saat itu,
kondisi Ka’bah sangat memprihatinkan. Dindingnya dipenuhi puisi dan lukisan.
Bahkan lebih dari 360 berhala terdapat di sekitar Ka’bah.
Selama
periode haji itu, suasana di sekitar Ka’bah layaknya seperti sirkus. Laki-laki
dan perempuan mengelilingi Ka’bah dengan telanjang. Mereka menyatakan harus
menampilkan diri di hadapan Allah dalam kondisi yang sama seperti saat lahir.
Doa mereka menjadi bebas tak lagi tulus mengingat Allah. Bahkan berubah menjadi
serangkaian tepuk tangan, bersiul, dan meniup terompet dari tanduk hewan.
Kalimat
talbiah (Labbaika Allahumma labbaik) telah diselewengkan oleh mereka dengan
kalimat tambahan yang berbeda maknanya. Lebih parah lagi, darah hewan kurban
dituangkan ke dinding Ka’bah dan dagingnya digantung di tiang sekitar Ka’bah.
Mereka punya keyakinan bahwa Allah menuntut daging dan darah tersebut. Mengenai
hal ini Allah Swt mengingatkan dengan firman-Nya:
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj : 37)
Para
peziarah bebas bernyanyi, minum arak, melakukan zina, dan perbuatan amoral
lainnya. Lomba puisi adalah bagian utama dari seluruh rangkaian haji. Dalam
kompetisi ini, setiap penyair akan memuji keberanian dan kemegahan sukunya.
Mereka menyampaikan cerita yang berlebihan, kepengecutan dan kekikiran
suku-suku lainnya. Ada juga kompetisi dalam “kemurahan hati”. Masing-masing
kepala suku akan menyediakan kuali besar dan memberi makan para peziarah.
Tujuannya agar bisa menjadi terkenal karena kemurahan hati mereka.
Mereka
telah meninggalkan, menodai, dan menyelewengkan ajaran suci Nabi Ibrahim as
yang mengajak menyembah Allah semata. Keadaan menyedihkan itu berlangsung
selama kurang lebih dua ribu tahun. Tetapi setelah periode panjang ini,
terjawablah doa Nabi Ibrahim as yang tercantum dalam Al-Qur’an:
“Ya
Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayatMu dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab
(Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah : 129)
Nabi
Muhammad saw tidak hanya membersihkan Ka’bah dari segala kotoran, tetapi juga
mengembalikan kemurnian Ibadah Haji sesuai tuntunan Allah sejak zaman Nabi
Ibrahim as. Allah swt mengutus Nabi Muhammad saw sebagai jawaban atas
doa tersebut. Selama dua puluh tiga tahun, Nabi Muhammad saw menyebarkan pesan
tauhid. Pesan yang sama seperti yang dibawa Nabi Ibrahim as dan semua Nabi
pendahulunya, untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi.
Terdapat
perintah khusus dalam Al-Qur’an, diturunkan dalam rangka menghilangkan semua
upacara palsu yang telah merajalela di masa pra-Islam. Semua tindakan tidak
senonoh dan memalukan itu sangat dilarang dalam pernyataan Allah Swt:
“Musim
Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh Rafats (mengeluarkan
perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat
fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan Haji.” (QS. Al-Baqarah:
197)
Rasulullah
saw memerintahkan para sahabat yang mampu, terutama kaum Anshar (pribumi
Madinah) yang tidak dikenali oleh orang-orang Mekkah, untuk menunaikan Ibadah
Haji yang sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim. Mereka tidak mengerjakan hal-hal
yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Ketika kembali dari berhaji, kaum
Anshar melapor kepada Rasulullah saw bahwa mereka mengerjakan sa’i dengan
keraguan. Di tengah Mas’a (jalur sa’i) antara Safa dan Marwa terdapat dua
berhala besar Asaf dan Na’ilah. Oleh karena itu, turunlah wahyu Allah, yaitu:
“Sesungguhnya
Safa dan Marwa sebagian dari syiar-syiar Allah. Maka barangsiapa berhaji ke
Baitullah atau berkunjung (Umrah), tidak salah baginya untuk bolak-balik pada
keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 158)
Ayat
inilah yang akan sering dibaca oleh para jemaah Haji ketika melakukan sa’i.
Pada
bulan April 628 M (Zulkaidah 6 H) Rasulullah Saw bermimpi menunaikan umrah
(kunjungan) ke Mekkah. Beliau mengajak para sahabat untuk mewujudkan
mimpi tersebut. Rasulullah dengan disertai 1.500 sahabat berangkat menuju
Mekkah, mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan kurban.
Kaum
musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalangi, sehingga
rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut
Mekkah.
Kaum
Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untyk berunding dengan Rasulullah. Suhail
mengusulkan, antara lain, kesepakatan genjatan senjata dan kaum Muslimin harus
menunda umrah dengan kembali ke Madinah. Tetapi tahun depan diberi kebebasan
melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Mekkah. Rasulullah menyetujui
perjanjian ini meskipun para sahabat banyak yang kecewa, namun tidak ada
yang berani, menentang keputusan beliau.
Secara
singkat isi perjanjian tersebut kelihatannya merugikan kaum Muslimin, tetapi
secara politis sangat menguntungkan. “Perjanjian Hudaibiyah” merupakan
salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam karena untuk pertama kalinya
kaum Quraisy di Mekkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.
Dalam
perjalanan pulang ke Madinah, turunlah wahyu Allah:
“Sungguh
Allah akan memenuhi mimpi RasulNya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu pasti
akan memasuki Masjid Al-Haram insyaAllah dengan aman. Kamu akan mencukur
kepalamu atau menggunting rambut (merampungkan umrah) dengan tidak merasa
takut. Dia menegetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain
itu kemenangan yang dekat”. (Al-Fath 27)
Sesuai
dengan Perjanjian Hidaibiyah, tahun berikutnya (Maret 629 Masehi atau Zulkaidah
7 Hijriah) Rasulullah saw beserta para sahabat untuk pertama kalinya melakukan
umrah ke Baitullah. Ketika rombongan Rasulullah saw yang berjumlah sekira 2.000
orang memasuki pelataran Ka’bah untuk melakukan tawaf, orang-orang Mekkah
berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak bahwa kaum Muslimin
kelihatan lestih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar
ejekan ini, Rasulullah saw bersabda kepada jemaahnya,
“Marilah
kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain
ihram, dan kita lakukan tawaf dengan berlari!”
Sesudah
mencium hajar Aswad, Rasulullah saw dan para sahabat memulai tawaf dengan
berlari-lari mengelilingi Ka’bahsehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada
putaran keempat setelah orang-orang usil di atas bukit Qubais pergi, Rasulullah
mengajak para sahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar
belakang beberapa sunnah tawaf di kemudian hari: bahu kanan yang terbuka (idthiba’)
serta berlari-lari kecil pata tiga putaran pertama khusus pada tawaf yang
pertama.
Setelah
tujuh putaran, Rasulullah saw shalat dua rakaat di Makam Ibrahim, kemudian
minum air Zamzam. Sesudah itu Rasulullah melakukan sa’I antara Safa dan Marwa,
dan akhirnya melakukan tahalul (‘menghalalkan kembali’) atau
membebaskan diri dari larangan-larangan ihram, dengan menyuruh Khirasy mencukur
kepala beliau. Ketika masuk waktu zuhur, Rasulullah saw menyuruh Bilal bin
Rabah naik kea tap Ka’bah untuk mengumandangkan azan.
Suara
azan Bilal menggema ke segenap penjuru sehingga orang-orang Mekkah berkumpul ke
arah “suara aneh” yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum musyrikin
menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang shalat berjamaah.
Hari itu, 17 Zulkaidah 7 Hijriah (17 Maret 629M0, untuk pertama kalinya azan
berkumandang di Mekkah dan Nabi Muhammad saw menjadi imam shalat di depan
Ka’bah.
Sesuai
dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw dan para sahabat hanya tiga
hari berada di Mekkah, kemudaian kembali ke Madinah. Tetapi, umrah tiga hari
yang dilakukan kaum Muslimin di Mekkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi
orang-orang Quraisy. Tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn Walid, Amru
ibn Ash, dan Utsman ibn Thalhah, menyusul ke Madinah untuk mengucapkan Kalimat
Syahadat. Di kemudian hari, Khalid ibn Walid memimpin pasukan Islam membebaskan
Suriah dan Palestina serta Amru bin Ash membebaskan Mesir dari kekuasaan
Romawi. Utsman ibn Thalhah dan keturunannya kelak diberi kepercayaan oleh Rasul
untuk memegang kunci Ka’bah.
Sampai
hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Ka’bah silih berganti hingga
dinasti Saudi sekarang, kunci Ka’bah tetap dipegang oleh keturunan Utsman ibn
Thalhah dari Bani Syaibah.
Beberapa
bulan sesudah Rasulullah saw umrah, kaum Quraisy melanggar perjanjian gencatan
senjata sehingga pada 20 Ramadhan 8 Hijriah (11 Januari 630M) Rasulullah Saw
beserta sepuluh ribu pasukan menaklukkan Mekkah tanpa pertumpahan darah.
Bahkan, Rasulullah Saw memberikan amnesti umum kepada warga Mekkah yang dahulu
memusuhi Muslimin.
Tiada
balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling
Penyayang di antara para penyayang.
Demikian
sabda Rasulullah saw mengutip ucapan Nabi Yusuf as yang tercantum dalam
surat Yusuf ayat 92. Akibatnya, seluruh kaum Quraisy masuk Islam. Kemudian
turun surat An-Nasr:
“Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, Dan kamu Lihat manusia masuk
agama Allah dengan berbondong-bondong,. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu
dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS.
An-Nasr 1-3)
Setelah
menerima ayat ini, pada rukuk dan sujud dalam shalat Rasulullah Saw
mengucapkan,
“Maha
Suci Engkau, Ya Allah, dan pujian bagiMu. Ya Allah, ampunilah aku”.
Dengan
jatuhnya kota Mekkah ke tangan umat Islam, Rasulullah saw memerintahkan
pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah. Dan membersihkan ibadah haji
dari unsur-unsur kemusyrikan serta mengembalikannya kepada syariat Nabi Ibrahim
yang asli.
Pada
tahun 8 Hijriah, Rasulullah saw melakukan umrah dua kali, yaitu ketika
menaklukkan Mekkah dan ketika beliau pulang dari Perang Hunain. Ditambah dengan
umrah tahun sebelumnya berarti Rasulullah saw sempat melakukan umrah 3 kali,
sebelum beliau mengerjakan ibadah haji tahun 10 Hijriah.
Pada
bulan Zulhijah tahun ke-9 Hijriah (Maret 613M), Rasulullah saw mengutus sahabat
Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memimpin ibadah haji. Rasulullah sendiri tidak ikut
karena beliau sibuk dalam menghadapi perang Tabuk melawan pasukan Romawi.
Abu
Bakar Ash-Shiddiq mendapat perintah untuk mengumumkan dekrit yang baru
saja diterima Rasulullah saw. Dekrit tersebut menyatakan mulai tahun depan kaum
musyrikin dilarang mendekati Masjid al-Haram dan menunaikan Ibadah Haji karena
sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran Nabi Ibrahim as.
Dekrit
itu dikeluarkan Rasulullah saw berdasarkan firman Allah:
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor
jiwa) karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.
Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang) maka
Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia
menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. At
Taubah : 28)
Pada
tahun 10 Hijriah (632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di bawah
kekuasaan Nabi Muhammad Saw yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk
telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawal Rasulullah saw bahwa beliau
sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh
seluruh umat dari segala penjuru sebab mereka berkesempatan mendampingi
Rasulullah dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tata
cara) haji.
Rasulullah
saw berangkat dari Madinah sesudah shalat Jumat tanggal 25 zulkaidah (21
februari) mengendarai unta beliau yang bernama Al-Qashwa’, dengan diikuti
sekira 30.000 jemaah. Seluruh istri beliau ikut serta dan juga putri beliau
yang saat itu masih hidup, Fatimah. Sesampai di Dzulhulaifah yang hanya belasan
kilometer dari Madinah, Rasul dan rombongan singgah untuk istirahat dan
mempersiapkan ihram. Di sini istri Abu Bakar Shiddiq, Asma’, melahirkan putra
yang diberi nama Muhammad. Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah.
Tetapi Rasulullah mengatakan bahwa Asma’ cukup mandi bersuci, memakai pembalut
yang rapi, dan dapat melakukan seluruh manasik haji. Muhammad ibn Abu Bakar
yang lahir di Dzulhulaifah itu kelak menjadi Gubernur Mesir pada masa Khalifah
Ali ibn Abi Thalib (656-661M).
Keesokan
harinya, Sabtu 26 zulkaidah (22 februari), setelah semuanya siap untuk
berihram, Rasulullah saw menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh Jemaah
mengucapkan: Labbaik Allahumma Hajjan (Inilah saya, Ya Allah, untuk berhaji).
Tidak ada seorang pun yang berniat umrah sebab menurut tradisi saat itu umrah
hanya boleh di luar musim haji. Tiga cara haji (tamattu, Ifrad , Qiran) yang
kita kenal sekarang baru diterapkan Rasulullah saw di Mekkah delapan hari
berikutnya. Rombongan menuju Mekkah dengan tiada henti mengucapkan talbiyah.
Pada hari Sabtu 3 Zulhijah (29 Februari), Rasul dan rombongan tiba di Sarif, 15
km di utara Mekkah, kemudian beristirahat. Aisyah , istri Nabi, kedatangan masa
haidnya sehingga dia menangis karena khawatir tidak dapat menunaikan haji.
Rasulullah saw menghiburnya ,
“Sesungguhnya
haid itu ketentuan Allah untuk putri-putri Adam. Segeralah mandi dan engkau
dapat melakukan semua manasik haji, kecuali tawaf sampai engkau suci.”
Pada
Ahad 4 Zulhijah (1 Maret) pagi, Rasulullah dan rombongan memasuki kota Mekkah.
Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan
diperkirakan total Jemaah haji mencapai lebih dari 100.000 orang. Rasulullah
memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu Syaibah yang terletak di samping
telaga Zamzam di belakang Makam Ibrahim. Gerbang Banu Syaibah ini kelak popular
dengan nama Babussalam (Pintu Kedamaian). Perlu diketahui bahwa yang disebut
Masjid al-Haram waktu itu adalah pelataran Ka’bah tempat shalat dan tawaf
(secara harfiah, masjid artinya tempat sujud). Sedangkan bangunan masjid, baru
dirintis pada masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644) dan mengalami perluasan
dari zaman ke zaman sehingga akhirnya megah seperti sekarang.
Juga
perlu diketahui bahwa Rasulullah tidak pernah memerintahkan harus masuk masjid
dari gerbang Banu Syaibah atau Babussalam. Beliau masuk pintu itu karena memang
datang dari arah utara. Gerbang yang dimasuki Nabi itu kini tidak ada lagi.
Ketika
pada tahun 1957 Masjid al-Haram diperluas sehingga tempat sa’I termasuk Safa
dan marwa menjadi bagian masjid. Kemudian pemerintah Arab Saudi membuat banyak
pintu. Dua pintu di antaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu
Babussalam.
Pada
awal setiap putaran tawaf, Jemaah umrah / haji disunahkan untuk memberikan
penghormatan (istilam) kepada hajar aswad di pojok tenggara Ka’bah.
Rasulullah
Saw memberikan empat cara istilam tersebut:
Ø Ketika
umrah pertama kali tahun 7 Hijriah, beliau mengecup Hajar Aswad.
Ø Ketika
penaklukkan Mekkah, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar Aswad dari atas
unta.
Ø Ketika
umrah saat pulang dari Hunain, hajar Aswad beliau usap dengan tangan kanan.
Ø Ketika
beliau haji tahun 10 Hijriah, beliau hanya melambaikan tangan dari jauh kearah
Hajar Aswad.
Cara
yang keempat adalah yang sangat praktis dan mungkin paling afdal. Walaupun
sekarang banyak Jemaah haji yang “berjuang” sampai bersikut-sikutan untuk
mengecup hajar Aswad. Bahkan akhirnya ada yang rela melakukan yang haram
(menyakiti Jemaah yang lain) untuk mengejar yang sunah.
Rasulullah
Saw melakukan tawaf tujuh putaran. Ummu Salamah, salah satu istri beliau,
bertawaf dengan ditandu sebab sedang sakit. Setiap melalui rukun
Yamani Rasulullah Cuma mengusapnya dengan tangan. Antara Rukun Yamani dan
Hajar Aswad beliau mengucapkan doa paling popular.
“rabbana
atina fidunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar (Ya Tuhan
kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta
peliharalah kami dari azab neraka)”
Setelah
selesai tujuh putaran, beliau shalat dua rakaat di belakang Makam Ibrahim,
kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala
beliau.
Sesudah
itu Rasulullah Saw menuju bukit Safa untuk memulai sa’i. Beliau naik ke bukit,
lalu menghadap Ka’bah bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke
lembah menuju Marwa dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini
Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari
Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil
ke Marwa 240 meter). Sesampai di Marwa Rasulullah Saw melakukan hal serupa
seperti yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak
tujuh kali.
tujuh kali.
Setelah
selesai sa’i, Rasulullah Saw di Marwa menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan
para sahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya. Beliau memerintahkan
seluruh sahabat yang tidak membawa hadyu (hewan kurban) agar
mengubah niat menjadi umrah. Padahal selama ini umrah hanya dilakukan di luar musim
haji. Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagia besar jamaah haji yang tidak
membawa hadyu dapat bertahalul (bebas dari larangan ihram). Kemudian berihram
lagi untuk haji tanggal 8 zulhijah. Karena mereka tidak membawa hadyu dari
rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Zulhijah) atau hari-hari Tasyriq (11-13
Zulhijah) mereka harus membeli hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang
kelak dikenal sebagai Haji Tamattu’, artinya ‘bersenang-senang’ sebab masa
berihram hanya beberapa hari saja.
Pada
mulanya para sahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi karena manasik
seperti itu (umrah di musim haji) belum pernah ada. Apalagi Nabi Saw sendiri
ternyata tidak ber-tahalul. Melihat keraguan para sahabat,
Rasulullah
Saw bersabda, “Seandainya aku tidak membawa hadyu, aku pun akan mengubah hajiku
menjadi umrah. Tetapi aku telah menghadapi urusanku (membawa hadyu) dan tidak
dapat mundur lagi sehingga aku tidak akan bertahalul sampai aku menyembelih
hadyu-ku”.
Ada
juga sahabat yang penasaran bertanya, “Tahalul untuk apa saja, Ya Rasulullah?”
“Tahalul untuk semuanya!” Jawab Nabi. Kemudian Rasulullah Saw menegaskan,
“Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya.” Artinya, umrah dapat
dikerjakan di musim haji, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
ibadah haji. Mendengar penegasan Rasulullah, para sahabat yang sebagian besar
tidak membawa hadyu ber-tahalul secara massal. Hanya Rasulullah Saw dan
sebagian kecil sahabat yang tetap berihram (tidak bertahalul) sebab mereka
membawa hadyu.
Sejak
saat itu mulailah dikenal tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu’
atau ‘bersenang-senang’ (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak membawa
hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau ‘mandiri’ (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk
Mekkah yang membawa hadyu. Ketiga, haji Qiran atau ‘gabungan’ (haji dan umrah
langsung digabungkan) bagi bukan penduduk Mekkah yang membawa hadyu.
Cara
terakhir inilah, yaitu Haji Qiran, yang dikerjakan Rasulullah Saw dalam ibadah
haji beliau. Hal ini disimpulkan dari fakta bahwa beliau membawa hadyu dan
sesudah mengerjakan haji beliau tidak lagi melakukan umrah secara terpisah
sampai beliau kembali ke Madinah tanggal 14 zulhijah.
Sebenarnya
cara Haji Tamattu’ bukanlah inovasi Rasulullah Saw, melainkan memang
diperintahkan oleh Allah sebagai keringanan bagi umat-Nya. Hal ini berdasarkan
wahyu yang turun ketika Rasulullah dan rombongan tertahan di Hudaibiyah empat
tahun sebelumnya (6 Hijriyah). Tetapi baru pada ibdaha haji tahun 10 Hijriah
Rasulullah berkesempatan menerapkan pelaksanaannya. Ayat perintah tamattu’ itu
kini tercantum dalam
Al-Baqarah
ayat 196:
“Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung
musuh, maka sembelihlah hadyu yang mudah didapat dan jangan kamu mencukur
kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara
kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur) maka dia
wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam
keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib
menyembelih) hadyu yang mudah didapat . Tetapi jika dia tidak mendapatkannya,
maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh hari setelah
kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh hari. Demikian itu, bagi orang yang
keluarganya tidak ada (tinggal) di sekitar Masjidil Haram. Bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukumannya.” (QS. Al Baqarah
:196)
Ketika
Rasulullah dan rombongan berangkat dari Dzulhulaifah, semuanya berniat haji dan
tidak seorangpun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa
hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah, istri Rasulullah, yang tercatat
dalam hadis-hadis, “Kami keluar bersama Nabi Saw hanya dengan tujuan haji.
Ketika kami selesai melakukan tawaf dan sa’I (‘kami’ di sini adalah Jemaah haji
sebab Aisyah sedang haid), barulah Rasulullah memerintahkan yang tidak membawa
hadyu untuk bertahalul.”
Keterangan
lebih tegas lagi dari Jabir ibn Abdillah, sahabat yang paling lengkap bercerita
tentang kisah haji Rasulullah.
“Kami
para sahabat Rasulullah Saw bertujuan haji yang yang murni (khalishan), tidak
mencampurkannya dengan umrah sebab kami tidak mengenal umrah!”
Maksud
jabir sudah tentu adalah tidak mengenal “umrah di musim haji” sebab ketika
Dzulhulaifah ‘sistem lama” (umrah harus di luar musim haji) belum dihapuskan
oleh Rasulullah Saw.
Nabi
Saw sebagai seorang pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang tepat untuk
menerapkan perintah Allah dama Al Baqarah ayat 196, agar umat tidak terkejut
dengan “system baru” (haji harus disertai umrah). Ketika Rasulullah dan
rombongan beristirahat di Sarif tanggal 3 Zulhijah sebelum masuk Mekkah,
belia mulai melakukan “sosialisasi” sistem baru dengan mengumumkan kepada
Jemaah haji, “Barangsiapa yang mau menjadikannya umrah, jadikanlah hajimu
menjadi umrah”
Di
sini Rasulullah hanya menghimbau dengan kalimat “siapa mau” (man sya’a). Esok
harinya, tanggal 4 Zulhijah 10 Hijriah sudah berkumpul di mekkah, serta Jemaah
telah santai karena sudah melaksanakan tawaf dan sa’I, barulah Rasulullah
memerintahkan cara Haji Tamattu’ bagi yang tidak membawa hadyu dan mendekritkan
terintegrasinya umrah ke dalam haji. Hal ini pun ternyata menimbulkan suasana
heboh di kalangan para sahabat. Sehingga rasulullah harus ekstra sabar untuk
meyakinkan para sahabat yang awalnya enggan “meralat” niat haji menjadi umrah.
Dari
penjelasan tersebut, untuk Jemaah haji Indonesia yang bukan pribumi Mekkah dan
dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah tidak ada pilihan lain kecuali
melaksanakan perintah Rasulullah Saw untuk mengambil cara Haji Tamattu’. Hal
ini berlaku baik bagi Jemaah Gelombang Pertama (yang ke Madinah dahulu) maupun
bagi Jemaah Gelombang Kedua (yang langsung ke mekkah). Bisakah Anda bayangkan?
Jika ada Jemaah Indonesia yang berminat meniru Nabi Saw membawa hadyu, alangkah
repotnya kondisi pesawat. Hewan kurban yang dibawa akan memenuhi pesawat. Hal
ini tidak diperkenankan oleh pihak Airlines.
Dari
tanggal 5 sampai 7 Zulhijah (2-4 Maret), Rasulullah Saw melakukan
kegiatan-kegiatan: memimpin Shalat di Masjidil Haram, melakukan tawaf sunat,
dan shalat sunat di Hijr Ismail. Meskipun beliau dalam keadaan berihram, beliau
menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah tempat lahir beliau di Suq al-Layl
dan berziarah ke kuburan istri yang paling beliau cintai, Khadijah al-Kubra,
yang terletak di Ma’la. Beliau juga menghapuskan kebiasaan aneh pada masa
Jahiliyaj, “orang yang berihram tidak boleh masuk rumah dari pintu, tetapi
harus membuat lubang di belakang rumah atau masuk lewat atap!”
Tradisi
yang tidak jelas asal usulnya ini, dilarang oleh Nabi Saw berdasarkan perintah
Allah dalam Al-Baqarah ayat 189.
“Mereka
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit, katakanlah, “itu adalah
(penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji” dan bukanlah suatu kebajikan
memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang
bertaqwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah
agar kamu beruntung.” (QS. Al baqarah :189).
Pada
Kamis 8 Zulhijah (5 Maret), Rasulullah Saw memerintahkan umat beliau yang
memakai cara Tamattu’ kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi
larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji. Mereka yang memakai cara
Ifrad atau Qiran, termasuk beliau sendiri, memang sudah dalam keadaan berihram
sebab sesudah tawaf dan sa’I, mereka tidak bertahalul. Manasik haji yang beliau
terapkan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina sangat perlu kita cermati sebab
manasik ini merupakan “system baru” yang berbeda dengan “system lama” (cara
Jahiliyah), berdasarkan aturan Ilahi dalam Al-Baqarah ayat 196-203 yang
diwahyukan tahun 6 Hijriah dan baru sempat diterapkan pada ibadah haji
Rasulullah Saw tahun 10 Hijriah.
Pada
tanggal 8 Zulhijah pagi,
Rasulullah
Saw beserta Jemaah haji pergi menuju Mina untuk mempersiapkan air sebab mulai
tanggal 10 Zulhijah sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina
selama beberapa hari. Itulah sebabnya tanggal 8 Zulhijah disebut hari Tarwiyah
(tarwiyah artinya mempersiapkan air). Di zaman modern sekarang meskipun air di
Mina sudah berlimpah sehingga para Jemaah tidak perlu tarwiyah atau
mempersiapkan air, sebagian besar ulama tetap berpendapat bahwa pergi ke Mina
tanggal 8 Zulhijah merupakan salah satu sunah haji. Paling tidak, itu perlu
dilakukan untuk “napak tilas” perjalanan Nabi.
Saat
ini pemerintah Arab Saudi terus-menerus membongkar rumah-rumah di Mina agar
kapasitas mina tetap memadai dalam menampung Jemaah haji yang jumlahnya dari tahun
ke tahun semakin meningkat. Akibatnya, berlaku hokum ekonomi: ongkos sewa rumah
di Mina semakin mahal sehingga Jemaah haji yang ingin singgah di Mina tanggal 8
Zulhijah harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar.
Pada
hari Jumat, 9 Zulhijah (6 Maret) sesudah matahari terbit, Rasulullah Saw dan
seluruh Jemaah haji berangkat menuju Arafah. Ketika melewati Mudzdalifah,
kaumQuraisy berharap agar Rasulullah berhenti sebab selama ini kaum Quraisy
selalu berwukuf di Masy’ar al-Haram (Mudzdalifah), sedangkan yang berwukuf di
Arafah adalah mereka yang bukan suku Quraisy. Oleh karena itu, Rasulullah
memerintahkan agar seluruh Jemaah haji tanpa kecuali kembali kepada syariat
Ibrahim untuk berwukuf di Arafah sesuai dengan firman Allah:
“Kemudian
bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah
ampunan kepada Allah. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al
Baqarah : 199)
Sebelum
masuk Arafah, Rasulullah Saw singgah di Namirah dan ketika masuk waktu zuhur
(matahari tergelincir ke barat) beliau pergi ke tengah Padang Arafah untuk
berkhotbah sebagai tanda dimulainya acara wukuf. Rasulullah menghentikan unta
beliau, Al-Qashwa’, di suatu tempat yang tinggi. Di samping beliau berdiri
Rabi’ah ibn Umayyah yang mempunyai suara keras dan lantang. Ia ditugasi untuk
menyambung suara Nabi agar jelas terdengar oleh puluhan ribu Jemaah yang hadir.
Sesudah
Rasulullah mengucapkan tahmid dan takbir, memuji dan membesarkan nama Allah,
beliau memberikan khotbah yang isinya antara lain sebagai berikut:
“Wahai
manusia (Ayyuhan-nas), dengarkanlah kata-kataku agar aku terangkan kepadamu.
Sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu dengan kamu di tempat
wukuf ini sesudah tahun ini. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu
darah sesamamu dan harta sesamamu sampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti
haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kamu pasti akan berjumpa dengan
Tuhanmu dan Dia pasti akan menanyai kamu tentang segala perbuatanmu.
Wahai
manusia, seseorang yang mempunyai hutang hendaklah mengembalikan hutang itu
kepada orang yang telah mempercayainya. Segala jenis riba dihapuskan, dan kamu
boleh memiliki kembali modalmu. Janganlah berbuat zalim dan kamu tidak akan
dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak boleh ada riba lagi, dan riba yang
pertama kuhapuskan adalah riba dari Abbas ibn Abdil Muttalib seluruhnya. Semua
pertumpahan darah di masa jahiliyah harus ditinggalkan tenpa balas dendam.
Hutang darah yang pertama kuhapuskan adalah darah Rabi’ah ibn Harits ibn Abdil
Muttalib yang dibunuh oleh Hudzail.
Wahai
manusia, sesungguhnya setan telah putus asa untuk terus disembah-sembah di
negerimu ini. Akan tetapi, dia akan puas dengan ditaati dalam hal-hal selain
itu, yaitu perbuatan-perbuatan yang kamu sebenarnya tahu bahwa itu salah,
tetapi tetap kamu perbuat. Maka, waspadalah terhadap setan dalam hal agamamu.
Sesungguhnya kamu mempunyai ha katas istri-istrimu dan mereka pun mempunyai hak
terhadapmu. Bertakwalah kamu kepada Allah dalam memperlakukan istri-istrimu
sebab kamu telah mengambil mereka dengan amanat Allah.
Wahai
manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan kamu sesuatu, yang jika kamu
berpegang teguh kepadanya pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu
sesuatu yang terang dan nyata: kitab Allah dan Sunnah NabiNya. Sesungguhnya
orang-orang beriman itu bersaudara, dan tidaklah halal seseorang mengambil
milik saudaranya kecuali dia memberikan dengan rela. Sesungguhnya Tuhanmu Cuma
satu, dan sungguh ayah kamu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, sedangkan
Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
adalah yang paling takwa. Tidak ada keutamaan orang Arab dari orang bukan Arab
melainkan lantaran takwa.”
Di
akhir khotbah beliau, Rasulullah Saw bertanya kepada puluhan ribu umat yang
hadir,
“Wahai
manusia, apakah aku telah menyampaikan?” Jemaah haji serempak menjawab, “benar,
telah engkau sampaikan.” Maka rasulullah mengacungkan tangan beliau ke langit
sambil berseru, ‘Wahai Allah, saksikanlah! Wahai Allah, saksikanlah!” Kemudian
Rasulullah menutup khotbah beliau dengan bersabda, “Maka hendaklah yang telah
menyaksikan daripadamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga siapa yang
menyampaikan akan lebih dalam memperhatikannya daripada yang sekadar
mendengarkan. Mudah-mudahan berlimpah rahmat dan berkat Allah kepada kamu
sekalian.”
Selesai
berkhotbah, Rasulullah Saw turun dari unta, lalu memimpin shalat zuhur dan asar
secara jama’ dan qasar. Kemudian beliau menuju Shakrat, batu karang di kaki
bukit Jabal Rahmah. Di sini Rasulullah Saw menerima wahyu surah Al-Maidah ayat
3:
“…. Hari
ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku lengkapkan untukmu nikmatKu dan Aku
relakan bagimu Islam sebagai agamamu…”
Ketika
Rasulullah Saw menyampaikan wahyu yang baru beliau terima kepada para sahabat,
Abu Bakar Shiddiq menangis tersedu-sedu. Umar ibn Khattab bertanya,
“Apa
yang kau tangiskan, wahai Abu Bakar? Bukankah kita seharusnya bergembira bahwa
agama kita telah sempurna?” Abu Bakar menjawab, “Tidaklah terpikir olehmu,
wahai anak Khattab, hal itu merupakan isyarat bahwa Rasulullah mungkin Cuma
sebentar lagi bersama dengan kita.”
Rasulullah
Saw memerintahkan umatnya untuk tidak menyia-nyiakan waktu wukuf. “Haji itu di
Arafah,” sabda beliau. Sambil menghadap kiblat, Rasulullah dan para sahabat
memuji dan mengagungkan Allah, berzikir, berdoa, memohon ampun, membaca
ayat-ayat Al-Qur’an, dan memperbanyak talbiyah.
Setelah
matahari terbenam, Rasulullah Saw mengajak para Jemaah haji untuk berangkat
menuju Mudzdalifah (Masy’ar al-Haram), sesuai dengan firman Allah:
“… Maka
ketika kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram.
Dan berzikirlah kepadaNya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu,
sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tahu” (QS. Al
Baqarah : 198)
Rasulullah
Saw mengajak Usamah ibn Zaid untuk duduk di punggung unta Al-Qashwa’. Di zaman
jahiliyah sudah menjadi kebiasaan untuk secepat mungkin meninggalkan Arafah
dengan setengah berlari, maka Rasulullah melarang cara yang tergopoh-gopoh ini.
“Tenang,
tenang, sebagaimana tenangnya jiwa. Hendaklah yang kuat di anataramu membantu
dan mengawasi yang lemah,” demikianlah sabda beliau.
Sesampai
di Muzdalifah, Rasulullah Saw dan rmbongan menunaikan shalat Maghrib dan
Isya secara jama’ dan qasar. Rasulullah dan sebagian besar Jemaah haji
bermalam di Muzdalifah. Tetapi beliau mengizinkan orang-orang yang lemah,
wanita, dan anak-anak berangkat ke Mina sesudah tengah malam. Hal ini bertujuan
agar dapat melontarkan jumrah sebelum massa dating membanjiri Mina. Sawdah,
istri Nabi yang paling gemuk, memohon izin untuk pergi ke Mina malam itu juga
sebab tubuhnya tidak kuat berdesak-desakan. Rasulullah Saw mengizinkan dan
mengirimkan Sawdah bersama Ummu Sulaim dengan ditemani oleh sepupu Rasul yang
masih remaja, Abdullah ibn Abbas ibn Abdil Muttalib. Di kemudian hari, Abdullah
ibn Abbas ini (nama populernya Ibnu Abbas) menjadi salah seorang perawi hadis
yang termasyur.
Sesudah
shalat subuh di Muzdalifah, Rasulullah Saw memimpin Jemaah haji menuju Mina.
Kini yang beliau ajak membonceng di punggung Al-Qashwa’ adalah sepupu beliau
Fadhil ibn Abbas (kakanya Abdullah). Ketika melewati lembah Muhassir,
Rasulullah menyuruh para Jemaah haji mempercepat langkah seraya bersabda,
“Bersegeralah
melewati Muhassir sebab di lembah ini ashhabu I-fil (pasukan Gajah)
Abrahah dimusnahkan burung Ababil.”
Pada
hari Sabtu, 10 Zulhijah (7 Maret), pagi hari Rasulullah Saw sampai di Mina.
Beliau tidak mampir di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju
Jumrah Aqabah. Tepat sebelas tahun sebelumnya, pada musim haji tahun 621
(setahun sebelum Hijrah) di bukit Aqabah, persis di atas jumrah, Rasulullah Saw
menerima ikrar sumpah setia dari para wakil masyarakat Anshar (suku Aws dan
Khazraj) yang mengundang beliau untuk berhijrah ke kota mereka, Yastrib atau
Madinah.
Berbeda
dengan jumrah ula dan Jumrah Wustha yang terletak di lapangan terbuka, Jumrah
Aqabah terletak di kaki bukit. Itulah sebabnya penampang batu lontaran di
Jumrah ula dan Jumrah Wustha berbentuk lingkaran, sedangkan di jumrah Aqabah
Cuma setengah lingkaran karena terhalang cadas bukit. Di kemudian hari,
meskipun bukit Aqabah sudah diratakan dengan tanah,umat Islam “tidak berani”
menjadikan penampung batu lontaran di Jumrah Aqabah sebagai lingkaran penuh
seperti dua jumrah yang lain, mungkin karena takut dianggap bid’ah.
Pada
tanggal 10 Zulhijah itu Rasulullah Saw melakukan berbagai manasik dengan urutan
sebagai berikut: Rasulullah melontar beliau bertakbir pada setiap lontaran.
Inilah perlambang usaha penolakan secara maksimal terhadap godaan setan.
Sesudah melontar beliau berdoa,
“Allahumma
j’alhu hajian mabruran wa sa’yan masykuran wa dzanban maghfura”. (Yaa Allah,
jadikanlah manasik ini membuahkan haji yang bermutu, usaha yang diterima, dan
dosa yang terampuni.
Kemudian
Rasulullah menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan tangan beliau
sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor disembelih oleh Ali ibn Abi Thalib. Sesudah
itu Rasulullah Saw melakukan tahalul dengan menyuruh Khirasy, yang pernah
mencukur kepala beliau ketika umrah tahun 7 Hijriah. Saat mengharukan ketika
Rasul dicukur, Khalid ibn Walid dan Suhail ibn Amr memunguti rambut-rambut
beliau yang jatuh, lalu mengusapkan rambut-rambut itu ke muka mereka sambil
menangis karena menyesali perbuatan mereka sebelum masuk Islam.
Selanjutnya,
Rasulullah Saw pergi ke Mekkah untuk melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah.
Setelah shalat zuhur, beliau kembali ke Mina. Oleh karena itu, Rasulullah
mengambil cara Haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Zulhijah itu
beliau tidak melakukan sa’I di antara Safa dan Marwa. Sa’I beliau cukup satu kali
tanggal 4 Zulhijah yang sudah mencakup sa’I haji dan umrah. Tetapi
sebagian besar para sahabat melakukan sa’I tanggal 10 Zulhijah atau sesudahnya
karena mereka mengambil cara Haji Tamattu’ sesuai perintah Rasulullah Saw.
Inilah
sa’I haji bagi para sahabat yang Tamattu sebab sa’I mereka tanggal 4 Zulhijah
adalah sa’I umrah saja dan belum sa’I haji.
Rasulullah
Saw memberikan kelonggaran pada Jemaah Haji untuk melakukan manasik dengan
urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau
menggunting rambut, serta tawaf dan sa’I boleh dilakukan secara acak, tidak
harus berurutan. Para Jemaah haji boleh mendahulukan mana yang sempat
dikerjakan. Bahkan manasik-manasik di atas, tidak harus semuanya terlaksana
pada hari Nahar (10 Zulhijah).
Penyembelihan
hadyu boleh dilakukan pada hari-hari
Tasyriq
(11-13 Zulhijah). Tawaf dan sa’I boleh dilakukan pada hari-harin Tasyriq. Boleh
juga dilakukan sesudah Jemaah pulang dari Mina asalkan masih dalam bulan
Zulhijah. Juga boleh dilakukan urutan seperti ini: dari Muzdalifah Jemaah haji
langsung ke Mekkah melakukan tawaf dan sa’I, lalu tahalul mencukur atau
menggunting rambut di Marwa, kemudian baru ke Mina untuk melontar jumrah atau
menyembelih hadyu. “Kerjakan saja, tidak apa-apa” (If’al, la haraj).’ Demikianlah
selalu jawaban Rasulullah Saw ketika beliau ditanya oleh para jamaah mengenai
urusan mansik-manasik di atas.
Apapun
urutan manasik yang dipilih oleh Jemaah haji, Rasulullah Saw menginstruksikan
Jemaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam hari Tasyriq, kecuali
mereka yang karena kesibukannya tidak dapat menginap. Rasulullah mengizinkan
paman beliau, Abbas ibn Abdil muttalib, bermalam di Mekkah untuk mengelola
siqayah (air Zamzam untuk Jemaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga
ternak mereka di malam hari diberi izin oleh Rasulullah untuk tidak menginap di
Mina.
Pada
tanggal 11 dan 12 Zulhijah, sesudah masuk waktu zuhur, Rasulullah Saw dan para
Jemaah haji melontar masing-masing tujuh lontaran secara berturut-turut Jumrah
ula, jumrah Wustha, dan akhirnya jumrah Aqabah. Beliau berdoa sesudah melontar
Jumrah ula dan Jumrah Wustha, tetapi segera pergi setelah melontar Jumrah
Aqabah. Rasulullah memberikan kelonggaran bagi yang tidak sempat melontar pada
siang hari untuk melakukannya di malam hari. Untuk orang yang sakit, lanjut
usia, lemah, atau wanita hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain.
Di
masa jahiliyah kaum Quraisy menggunakan waktu luang di Mina untuk saling
membanggakan silsilah keturunan dan kehebatan nenek moyang masing-masing.
Rasulullah Saw melarang kebiasaan takabur ini dan menggantinya dengan zikir
kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah:
“Maka
ketika kamu menunaikan ibadah hajimu, berzikirlah kepada Allah seperti berzikir
nenek moyangmu, bahkan harus lebih hebat zikirnya” (QS. Al Baqarah :200)
Rasulullah
Saw juga menerapkan kebolehan dari Allah bagi Jemaah haji untuk memilih dua
hari atau tiga hari dalam melontar tiga jumrah, sesuai dengan firman Allah:
“Barangsiapa
yang bergegas (meninggalkan mina) dalam dua hari maka tiada dosa baginya dan
barangsiapa yang belakangan juga taiada dosa baginya, yakni bagi mereka yang
bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan
dikumpulkanNya” (QS Al Baqarah : 203)
Jadi
pada tanggal 12 Zulhijah sore hari Jemaah haji boleh melakukan nafar
awwal (pulang duluan) meninggalkan Mina pulang ke Mekkah. Mereka yang ingin
nafar awwal harus berada di luar Mina sebelum Maghrib. Jika saat maghrib masih
di Mina , mereka harus mengambil nafar tsani (pulang rombongan kedua), yaitu
harus bermalam di Mina dan melontar lagi t iga jumrah tanggal 13 Zulhijah.
Setelah itu, Jemaah pulang ke Mekkah. Sebagian sahabat memilih nafar awwal dan
sebagian lgi memilih nafar tsani. Adapun Rasulullah Saw melakukan nafar tsani,
pulang ke Mekkah tanggal 13 Zulhijah.
Pada
malam 14 Zulhijah, Rasulullah Saw menyuruh istri beliau, Aisyah ra, yang
selesai masa haidnya untuk menunaikan umrah. “inilah pengganti umrahmu yang
gagal”, sabda beliau. Aisyah kembali berihram dari Tan’im dengan ditemani
adiknya, Abdurrahman ibn Abi Bakar. Lalu mereka melakukan tawaf dan sa’I
sehingga bertahalul di Marwa. Pengalaman Aisyah yang melakukan Haji Ifrad (haji
dulu, baru umrah) dijadikan dasar oleh para ulama di kemudian hari untuk
membolehkan Haji Ifrad bagi yang bukan penduduk Mekkah dan tidak membawa hadyu.
Pengalaman
Abdurrahman ibn Abi Bakar yang melakukan umrah lagi, dijadikan dasar untuk
membolehkan umrah sunah di musim haji dengan berihram dari Ta’nim. Tetapi ada
juga para ulama yang berpendapat bahwa Jemaah yang tidak membawa hadyu harus
melakukan Haji Tamattu’ sesuai perintah Rasul (Aisyah melakukan Ifrad lantaran
haid) serta umrah sunah di musim haji tidak dicontohkan Rasul dan para sahabat
(umrahnya Abdurrahman lantaran menemani kakanya_. Wallahualam.
Sesudah
shalat subuh hari Rabu 14 Zulhijah (11 maret), Rasulullah Saw dengan
istri-istri beliau kecuali Safiyah yang mengalami haid dua hari sebelumnya,
melakukan tawaf wada (tawaf perpisahan), lalu mereka kembali ke Madinah.
Rasulullah tidak dapat berada lama-lama di Mekkah sebab pekerjaan beliau
sebagai Kepala Negara harus segera beliau rampungkan. Tiga bulan sesudah itu,
pada hari Senin tanggal 12 Rabiul awal 11 Hijriah (8 Juni 632 M), Rasulullah
Saw berpulang ke Rahmatullah. Sesungguhnya kita milik Allah dan sungguh
kepadaNya kita akan kembali.
Begitulah
sejarah kisah ibadah haji dari Nabi Ibrahim as sampai Nabi Muhammad Saw.
Di
samping untuk melaksanakan perintah Allah, ibadah haji dan umrah sangat banyak
manfaatnya, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 28:
“….Agar
mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka…”
Rasa
nikmat menunaikan ibadah haji dan umrah sungguh luar biasa dan tidak dapat
diceritakan, melainkan hanya dapat dirasakan sendiri.
Pengertian Haji dan
Umrah – Hukum, Syarat, Rukun, Sunah Haji dan Umrah
Rukun
Islam yang terakhir adalah naik haji ke Baitullah. Maksudnya adalah berkunjung
ke tanah suci untuk melaksanakan serangkaian amal ibadah sesuai dengan syarat,
rukun, dan waktu yang telah ditentukan. Ibadah haji ditentukan kepada muslim
yang mampu. Pengertian mampu atau kuasa yaitu mempunyai bekal yang cukup untuk
pergi dan bekal bagi keluarga yang ditinggalkannya. Sama halnya dengan umrah
yang dapat dilakukan pada bulan- bulan lain selain bulan Zulhijah.
Haji
dan umrah merupakan suatu kegiatan rohani yang di dalamnya terdapat
pengorbanan, ungkapan rasa syukur, berbuat kebajikan dengan kerelaan hati,
melaksanakan perintah Allah, serta mewujudkan pertemuan besar dengan umat Islam
lainnya di seluruh dunia. Firman Allah swt. Surah Al Baqarah Ayat 125.
Pengertian
Haji dan Umrah
Pengertian
haji menurut bahasa (etimologi) adalah pergi ke Baitullah (Kakbah) untuk
melaksanakan ibadah yang telah ditetapkan atau ditentukan Allah swt.
Pengertian haji secara istilah (terminologi) adalah pergi beribadah ke tanah suci (Mekah), melakukan tawaf, sa’i, dan wukuf di Padang Arafah serta melaksanakan semua ketentuan-ketentuan haji di bulan Zulhijah.
Pengertian haji secara istilah (terminologi) adalah pergi beribadah ke tanah suci (Mekah), melakukan tawaf, sa’i, dan wukuf di Padang Arafah serta melaksanakan semua ketentuan-ketentuan haji di bulan Zulhijah.
Pengertian
umrah menurut bahasa (etimologi) yaitu diambil dari kata “i’tamara” yang
artinya berkunjung. Di dalam syariat, umrah artinya adalah berkunjung ke
Baitullah (Masjidil Haram) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan
memenuhi syarat tertentu yang waktunya tidak ditentukan seperti halnya haji.
Hukum
Haji dan Umrah
Hukum
melaksanakan haji adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu, sesuai dengan
firman Allah dalam Surah Ali Imran Ayat 97. yang artinya : “Padanya terdapat
tanda-tanda yang nyata (di antaranya) maqam Ibrahin, barang siapa memasukinya
(Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah
Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran: 97).
Sebagai
ulama berpendapat bahwa umrah hukumnya mutahabah artinya baik untuk dilakukan
dan tidak diwajibkan. Hadis Nabi Muhammad saw. menyatakan sebagai berikut.
Artinya: Haji adalah fardu sedangkan umrah adalah “tatawwu.” (Al Hadis)
Artinya: Haji adalah fardu sedangkan umrah adalah “tatawwu.” (Al Hadis)
atawwu
maksudnya ialah tidak diwajibkan, tetapi baik dilakukan untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan melakukannya lebih utama daripada meninggalkannya karena
tatawwu mempunyai ganjaran pahala.
Syarat,
Rukun, Wajib, serta Sunah Haji dan Umrah
Syarat
Haji
Syarat
wajib haji adalah mampu (kuasa), Islam, berakal, balig, merdeka, ada bekal, dan
aman
dalam perjalanan.
dalam perjalanan.
Rukun
Haji
Rukun
haji adalah sebagai berikut :
Ihram
Ihram
yaitu berniat untuk mulai mengerjakan ibadah haji dengan memakai kain putih
yang tidak dijahit. Ibadah ini dimulai setelah sampai di miqat (batas-batas
yang telah ditetapkan).
Miqat ini dibagi dua yaitu:
Miqat ini dibagi dua yaitu:
1.
miqat
zamani, yakni batas yang telah ditentukan berdasarkan waktu. Mulai bulan Syawal
sampai terbit fajar tanggal 10 Zulhijah. Maksudnya, hanya pada masa itulah
ibadah haji bisa dilaksanakan.
2.
miqat
makani yakni, batas yang telah ditetapkan berdasarkan tempat. Miqat makani
dibagi
ke dalam beberapa temjat yaitu sebagai berikut:
ke dalam beberapa temjat yaitu sebagai berikut:
·
Bagi
orang yang bermukim di Mekah, niat ihram dihitung sejak keluar dari Mekah.
·
Bagi
orang yang berasal dari Madinah dan sekitarnya, niat ihram dimulai sejak mereka
sampai di Dzulhulaifah (Bir Ali).
·
Bagi
orang dari Syam, Mesir, dan arah barat, memulai ihram mereka ketika sampai di
Juhfah.
·
Bagi
orang yang datang dari Yaman dan Hijaz, ihram dimulai setelah mereka sampai di
bukit Qarnul Manazil.
·
Bagi
orang dari India, Indonesia, dan negara yang searah memulai ihram setelah
mereka berada di bukit Yalamlam.
·
Bagi
orang yang datang dari arah Irak dan yang searah dengannya, ihram dimulai dari
Dzatu Irqin.
Wukuf
di Arafah
Wukuf
di Arafah adalah berhenti di Padang Arafah sejak tergelintirnya matahari
tanggal 9 Zulhijah sampai terbit fajar pada tanggal 10 Zulhijah.
Tawaf
Ifadah
Tawaf
ifadah adalah mengelilingi Kakbah sebanyak 7 kali dengan syarat sebagai berikut:
1) Suci dari hadas dan najis baik badan
maupun pakaian.
2) Menutup aurat.
3) Kakbah berada di sebelah kiri orang
yang mengelilinginya.
4) Memulai tawaf dari arah hajar aswad
(batu hitam) yang terletak di salah satu pojok di luar Kakbah.
Macam-macam
tawaf itu sendiri ada lima macam yaitu seperti berikut ini:
a) Tawaf qudum adalah tawaf yang
dilakukan ketika baru sampai di Mekah
b) Tawaf ifadah adalah tawaf yang menjadi
rukun haji
c) Tawaf sunah adalah tawaf yang
dilakukan semata-mata mencari rida Allah.
d) Tawaf nazar adalah tawaf yang dilakukan
untuk memenuhi nazar.
e) Tawaf wada adalah tawaf yang dilakukan
sebelum meninggalkan kota Mekah
Sa’i
Sa’i
adalah lari-lari kecil atau jalan cepat antara Safa dan Marwa (keterangan lihat
QS Al Baqarah: 158). Syarat-syarat sa’i adalah sebagai berikut :
1) Dimulai dari bukit Safa dan berakhir
di bukit Marwa.
2) Dilakukan sebanyak tujuh kali.
3) Melakukan sa’i setelah tawaf qudum.
Tahalul
Tahalul
adalah mencukur atau menggunting rambut sedikitnya tiga helai. Pihak yang
mengatakan bercukur sebagai rukun haji, beralasan karena tidak dapat diganti
dengan penyembelihan.
Tertib.
Tertib
maksudnya adalah menjalankan rukun haji secara berurutan.
WAJIB HAJI
Wajib
haji ada tujuh macam, yakni sebagai berikut:
a.
Ihram
mulai dari miqat.
b.
Bermalam
di Muzdalifah pada malam hari raya haji.
c.
Melempar
Jumratul Aqabah.
d.
Melempar
tiga jumrah yakni.
1.
jumrah
ula,
2.
jumrah
wusta, dan
3.
jumrah
aqabah.
Melempar jumrah ini dilakukan setiap
hari pada tanggal 11, 12, dan 13 bulan Zulhijah dan waktunya setelah
tergelincir matahari. Masing-masing jumrah dilempar sebanyak 7 (tujuh) kali
dengan batu kecil.
e.
Bermalam
di Mina.
f.
Tawaf
wada.
g.
Menjauhkan
diri dari larangan atau perbuatan yang diharamkan dalam ihram dan umrah yaitu
sebagai berikut.
1.
Bagi
pria dilarang memakai pakaian berjahit.
2.
Menutup
kepala bagi pria dan menutup muka bagi wanita
3.
Memotong
kuku.
4.
Membunuh
hewan buruan.
5.
Memakai
wangi-wangian.
6.
Hubungan
suami isteri (bersetubuh)
7.
Mengadakan
aqad nikah (kawin atau mengawinkan).
8.
Memotong
rambut atau bulu badan yang lain.
SUNAH HAJI
Adapun
sunah haji ada enam perkara, yakni sebagai berikut :
1.
Cara
mengerjakan haji dan umrah. Terdapat tiga macam sunah mengerjakan haji dan
umrah yaitu sebagai berikut:
Ifrad
: melakukan haji lebih dahulu, kemudian barn umrah.
Tamattu
: mendahulukan umrah, kemudian haji.
Qiran
: ibadah haji dan umrah dilakukan secara bersama-sama.
2.
Membaca
talbiyah selama dalam ihram sampai melempar jumrah aqabah pada Hari Raya Haji.
(Idul Adha).
3.
Berdoa
setelah membaca talbiyah.
4.
Berzikir
sewaktu tawaf.
5.
Salat
dua rakaat sesudah tawaf.
6.
Masuk
ke Kakbah (Baitullah).
Adapun
rukun dan wajib umrah lebih sedikit daripada haji, yakni sebagai berikut.
1.
Rukun Umrah
a.
Ihram
disertai niat.
b.
Tawaf
atau mengelilingi Kakbah.
c.
Sa’i
lari-lari kecil antara Safa dan Marwa.
d.
Bercukur
atau memotong rambut minimal tiga helai.
2.
Wajib Umrah
a.
Ihram
dari miqat yang terbagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut :
1)
Miqat
zamani (batas waktu) yakni dapat dilakukan sewaktu-waktu.
2)
Miqat
makani (batas mulai ihram) seperti halnya haji.
b.
Menjaga
diri dari larangan-larangan ihram yang jumlahnya sama dengan larangan haji.
Tidak
boleh bagi seseorang berhaji untuk orang lain kecuali setelah ia berhaji untuk
dirinya sendiri. Rasulullah bersabda: Berhajilah untuk dirimu sendiri, kemudian
engkau berhaji untuknya.
Tidaklah
wajib bagi anak-anak untuk berhaji kecuali ia telah baligh. Namun jika ia telah
berhaji maka hajinya sah sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnu Abbas ra
bahwa Rasulullah berjumpa dengan seorang
berkendaraan dikawasan Ar-Raudha beliau bersabda: Siapakah kalian? Mereka
menjawab: Kami orang-orang muslim, mereka balik bertanya: Siapa anda? Beliau
menjawab: Saya Rasul Allah. Lalu ada seorang anak gadis yang masih kecil
bertanya: Apakh ini yang disebut haji? Beliau menjawab: Ya dan bagimu pahala
(HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan An Nasa dishahihkan oleh At Tirmidzi).
Rangkaian
kegiatan ibadah Haji
1.
Sebelum
tanggal 8 Dzulhijjah, calon jamaah haji mulai berbondong untuk melaksanakan
Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah.
2.
Calon
jamaah haji memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai
pakaian haji), sesuai miqatnya, kemudian berniat haji, dan membaca bacaan
Talbiyah, yaitu mengucapkan Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika laka
labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika laka..
3.
Tanggal
9 Dzulhijjah, pagi harinya semua calon jamaah haji menuju ke padang Arafah
untuk menjalankan ibadah wukuf. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf,
yaitu berdiam diri dan berdoa di padang Arafah hingga Maghrib datang.
4.
Tanggal
9 Dzulhijjah malam, jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabbit (bermalam) dan
mengambil batu untuk melontar jumroh secukupnya.
5.
Tanggal
9 Dzulhijjah tengah malam (setelah mabbit) jamaah meneruskan perjalanan ke Mina
untuk melaksanakan ibadah melontar Jumroh
6.
Tanggal
10 Dzulhijjah, jamaah melaksanakan ibadah melempar Jumroh sebanyak tujuh kali
ke Jumroh Aqobah sebagai simbolisasi mengusir setan. Dilanjutkan dengan tahalul
yaitu mencukur rambut atau sebagian rambut.
7.
Jika
jamaah mengambil nafar awal maka dapat dilanjutkan perjalanan ke Masjidil Haram
untuk Tawaf Haji (menyelesaikan Haji)
8.
Sedangkan
jika mengambil nafar akhir jamaah tetap tinggal di Mina dan dilanjutkan dengan
melontar jumroh sambungan (Ula dan Wustha).
9.
Tanggal
11 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan
tugu ketiga.
10. Tanggal 12 Dzulhijjah, melempar jumrah
sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
11. Jamaah haji kembali ke Makkah untuk
melaksanakan Thawaf Wada’ (Thawaf perpisahan) sebelum pulang ke negara
masing-masing
1.
Diawali
dengan mandi besar (janabah) sebelum ihram untuk umrah.
2.
mengenakan
pakaian ihram. Untuk lelaki 2 kain yang dijadikan sarung dan selendang,
sedangkan untuk wanita memakai pakaian apa saja yang menutup aurat tanpa ada
hiasannya dan tidak memakai cadar atau sarung tangan.
3.
Niat
umrah dalam hati dan mengucapkan Labbaika ‘umrotan atau Labbaikallahumma
bi’umrotin. Kemudian bertalbiyah dengan dikeraskan suaranya bagi laki-laki dan
cukup dengan suara yang didengar orang yang ada di sampingnya bagi wanita, yaitu
mengucapkan Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika laka labbaik. Innal
hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika laka.
4.
Sesampai
Masjidil Haram menuju ka’bah, lakukan thawaf sebanyak 7 kali putaran.3 putaran
pertama jalan cepat dan sisanya jalan biasa. Thowaf diawali dan diakhiri di
hajar aswad dan ka’bah dijadikan berada di sebelah kiri. Setiap putaran menuju
hajar aswad sambil menyentuhnya dengan tangan kanan dan menciumnya jika mampu
dan mengucapkan Bismillahi wallahu akbar. Jika tidak bisa menyentuh dan
menciumya, maka cukup memberi isyarat dan berkata Allahu akbar.
5.
Shalat
2 raka’at di belakang maqam Ibrahim jika bisa atau di tempat lainnya di
masjidil haram dengan membaca surat Al-Kafirun pada raka’at pertama dan
Al-Ikhlas pada raka’at kedua.
6.
Selanjutnya
Sa’i dengan naik ke bukit Shofa dan menghadap kiblat sambil mengangkat kedua
tangan dan mengucapkan Innash shofa wal marwata min sya’aairillah. Abda’u bima
bada’allahu bihi (Aku memulai dengan apa yang Allah memulainya). Kemudian
bertakbir 3 kali tanpa memberi isyarat dan mengucapkan Laa ilaha illallahu
wahdahu laa syarika lahu. Lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syai’in
qodiir. Laa ilaha illallahu wahdahu anjaza wa’dahu wa shodaqo ‘abdahu wa
hazamal ahzaaba wahdahu 3x. Kemudian berdoa sekehendaknya. Sa’i dilakukan
sebanyak 7 kali dengan hitungan berangkat satu kali dan kembalinya dihitung
satu kali, diawali di bukit Shofa dan diakhiri di bukit Marwah.
7.
Mencukur
rambut kepala bagi lelaki dan memotongnya sebatas ujung jari bagi wanita.
8.
Ibadah
Umroh selesai
1.
Membersihkan
diri dari dosa dan kesalahan baik langsung kepada Allah SWT. maupun kepada
sesama manusia.
2.
Karena
ibadah Haji adalah ibadah fisik, maka perlu mempersiapkan mental untuk
mengikuti seluruh rangkaian ibadah haji yang memerlukan stamina tinggi,
keikhlasan dan kepasrahan kepada Allah SWT.
3.
Mempersiapkan
biaya, baik selama dalam perjalanan haji, maupun untuk nafkah keluarg yang
ditinggalkan.
4.
Melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan harta kekayaan, seperti zakat,
nadzar, hutang, infaq dan shadaqah.
5.
Melaksanakan
janji yang pernah diucapkan.
6.
Menyelesaikan
segala urusan yang berhubungan dengan keluarga yang akan ditinggalkan.7.
Memohon do’a restu kepada kedua orang tua (jika masih hidup)
7.
Mempersiapkan
ilmu dan pengetahuan agama, dan mengikuti kegiatan manasik haji.
8.
Mempersiapkan
obat-obatan pribadi selama menjalankan ibadah haji.
9.
Mempersiapkan
beberapa perlengkapan untuk keperluan selama perjalanan ibadah Haji:
Perlengkapan
Pria
1.
Kain
Ihram dua stel
2.
Baju
sehari-hari secukupnya
3.
Ikat
pinggang
4.
Keperluan
mandi
Perlengkapan
Wanita
1.
Mukena
minimal 2 buah
2.
Pakaian
ihram (rok putih dan mukena atas putih) 2 set
3.
Pakaian
sehari-hari secukupnya
4.
Kaos
kaki secukupnya
Perlengkapan
untuk Pria dan Wanita
1.
Pakaian
penghangat
2.
Selimut
3.
Sandal
jepit
4.
Sepatu
sandal atau sendal gunung
5.
Obat-obatan
pribadi
6.
Gunting
kecil utk Tahallul
7.
Payung
8.
Senter
kecil (untuk penerangan saat mengambil batu di Musdalifah)
9.
Kantong
kecil untuk menyimpan batu kerikil persiapan melempar jumroh
10. Kantong sandal untuk tempat sandal
saat di Masjid
11. Pelembab atau cream, gunakan untuk
tangan dan kaki
12. Biaya untuk dam, kurban dsb.
Makkah Al
Mukaromah
Di
kota Makkah Al-Mukaromah inilah terdapat Masjidil Haram yang didalamnya
terdapat Ka’bah yang merupakan kiblat ibadah umat Islam sedunia. Dalam
rangkaian perjalanan ibadah haji, Makkah menjadi tempat pembuka dan penutup
ibadah haji.
Padang Arafah
Padang
Arafah terdapat di sebelah timur Kota Makkah. Padang Arafah dikenal sebagai
tempat pusatnya haji, sebagai tempat pelaksanaan ibadah wukuf yang merupakan
rukun haji. Di Padang Arafah juga terdapat Jabal Rahmah tempat pertama kali
pertemuan Nabi Adam dan Hawa. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.
Kota
Muzdalifah
Kota
ini tidak jauh dari kota Mina dan Arafah Mota Muzdalifah merupakan tempat
jamaah calon haji melakukan Mabit (bermalam) dan mengambil batu untuk melontar
Jumroh di Kota Mina.
Kota Mina
Kota
Mina merupakan tempat berdirinya tugu (jumrah), yaitu tempat pelaksanaan
melontarkan batu ke tugu (jumrah) sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim
ketika mengusir setan. Disana terdapat tiga jumrah yaitu jumrah Aqabah, Jumrah
Ula, dan Jumrah Wustha.
Demikian
penjelasan yang bisa kami sampaikan tentang Pengertian Haji dan Umrah – Hukum, Syarat, Rukun, Sunah Haji
dan Umrah.